Tuesday, March 29, 2016

K.H. ABDULLAH, MUNDAKJAYA INDRAMAYU

Belaiu adalah Pengajar Tarikat Qodariyyah Wa Naksyabandiyyah, sewaktu muda belaiau senang berguru kepada ulama-ulama alim sambil berkelana keliling Pulau Jawa. Diantara daerah-daerah yang pernah disinggahinya ; Jati Barang, Cirebon, Jawa Tengah, Madura, Banten [diceritakan dalam Serat Jaka Sari, sebuah tembang yang menceritakan perjalanan hidupnya].

Ia juga pernah menjadi pekerja proyek pembangunan tanggul sepur jaman Belanda, menurut penuturan para sepuh Cikedung, Sepur Penganten [Pertama] yang melintas pada rel tanggul sepur itu terjadi pada tahun 1911. Setelah berkeliling Pulau Jawa kemudian ia menetap di Desa Mundakjaya, Kecamatan Cikedung Indramayu. Sebelum menjadi Mursyid, beliau berguru kepada Syeikh Abdulgofar [Mama Khatijah Desa Lunggadung, Cikedung]. Mama Khatijah adalah murid daripada Syeikh Abdulmanan, Paoman Indramayu dan Syeikh Abdulmanan adalah murid daripada Syeikh Tolabuddin [Mama Tolha] Kalisapu Cirebon.

Dalam keseharian, K.H. Abdullah banyak menyalin kitab-kita kuno [Manuskrip Kuno], beberapa diantaranya ;
  1. Serat Pralayajati
  2. Babad Dermayu
  3. Babad Cirebon
  4. Syeikh Madekur - Kasan Basari
  5. Syeikh Jabar
  6. Siti Maleha
  7. Siti Ningrum
  8. Manakib Syeikh Abdul Qadir Al-jilani
  9. Serat Yusuf
  10. Ater-ater Kaulan
  11. Kidungan
  12. Primbon
  13. Wejangan Mursid
  14. Dll


Setelah perjalanan panjang akhirnya karya-karya tulis KH. Abdullah Munjul, Mundakjaya – Cikedung bisa didokumentasikan Pihak Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama. 

Dengan bantuan teman-teman dari Cirebon dan Indramayu yang terus memotivasi kami, Sanggar Aksara Jawa mencoba terus berjuang untuk mencari dan menyelamatkan sumber-sumber karya intelektual anak bangsa [di Indramayu]. keberadaan naskah kuno menjadi sangat penting, "Naskah kita sedang Go International" demikian menurut penuturan Prof.H. Abd. Rahman Mas'ud, Ph.D. dalam Silaturahmi Litbang Diklat, "Menemukan Islam Nusantara dari Naskah Nusantara".

Semoga ruh beliau tetap hidup dan dikenang, generasi muda kudu weruh dan mau meneruskan sisi-sisi perjuangannya.  KH. Abdullah semenjak kecil gemar menuntut ilmu agama, beliau sampai berkeliling Pulau Jawa untuk meuwujudkan cita-citanya menjadi tokoh ulama. Dalam pergerakan, beliau juga bergabung dengan teman-temannya dari Cirebon, Indramayu. Kala itu ikut mengusir Cina Rambut Kepang yang sangat exlusive tidak mau bergaul dengan masyarakat [Jakasari, sebuah Autobiografi dalam tembang].

Terakhir Belaiu berguru kepada Syeikh Abdul Gofar Lunggadung, yang merupakan murid daripada Syeikh Abdulmanan Paoman. Kemudian mulai menetap di Desa Munjul dan menjadi Pemuka Agama dan Budayawan disana,  diantara karya-karya beliau, ada yang ditulis dengan Aksara Carakan, Pegon dan Arab Gundul [salinan/copy] adalah ;
1.           Babad Dermayu
2.          Kidung Bobotan / Ruwatan
3.          Adam Jalalah
4.         Siti Maleha
5.          Sultan Rum
6.         Pralayajati
7.          Syekih Jabar
8.         Manakib Syeikh Abdul Qadir Al-zilani
9.         Syeikh Madekur
10.      Syeikh Mukhayat
11.        Serat Yusuf
12.       Jakasari
13.       Nyi Gandasari
14.      Babad Cirebon
15.       Satus Pitakonan
16.      dll

Semoga kedepan ada pihak-pihak yang lebih perduli lagi, mau mengubah tumpukan naskah usang menjadi karya yang lebih besar.... Aminnn YRA

Tuesday, March 15, 2016

BEBERAPA MAHASISWA UNWIR DAN LSM INDRAMAYU, Adakan Diskusi Bedah Babad Dermayu



MENILIK BABAD DERMAYU DARI BEBERAPA NASKAH KUNO
Oleh : Ki Tarka Sutarahardja - Sanggar Aksara Jawa Indramayu


1.               Siapakah Raden Wiralodra
1.1   Babad Dermayu
Babad Dermayu Naskah Kertasmaya, yang dipublikasikan oleh Perpusnas 2011, menyebutkan. Pada awal tembang Pupuh Sinom menceritakan asal-usul Raden Wiralodra, bahwa dahulu Nyi Lara [S]Kelar menikah dengan Jaka Kuat putra Ratu Pajajaran, menurunkan putra Mangkuyuda Mataram, menurunkan putra Ngabehi Wiraseca, berputra Tumenggung Kartawangsa Mataram. Jika ditarik benang merah maka silsilah ini sampai kepada Majapahit, ialah masih sanak kadang sedulur dengan Panembahan Ki Bethara yang dimakamkan di Gunung Kumbang.
Kemudian menurunkan putra Kanjeng Pangeran Adipati Lowano Bagelen, berputra Tumenggung Gagak Pernala Bagelen, yang menurunkan 4 orang putra ;
1.       Raden Gagak Kumitir – Bagelen
2.        Raden Gagak Wirajaya – Tanggelan
3.      Raden Gagak Pringgadipura
4.      Raden Wirahandaka – Karang Jati
Raden Gagak Kumitir berputra Raden Wirakusuma, Banyu Urip.  Kemudian berputra Raden Gagak Singalodraka, Bagelen. Menurunkan empat orang putra ;
1.       Raden Wangsanegara
2.       Raden Wangsayuda
3.      Raden Wiralodra
4.      Raden Tanujaya
5.      Raden Tanujiwa
Pada suatu ketika Raden Wiralodra bertafakur di Gunung Sumbing selama tiga tahun, dengan memadukan ilmu syari’at, tarikat, hakikat dan ma’rifat menjadi satu maka pada suatu malam Jum’at diperolehlah anugrah wangsit dari Allah Swt, “Agar membabad hutan kali cimanuk yang berada di wilayah barat. Kelak setelah menjadi negara, akan ramai makmur dan akan diduduki hingga sampai generasi ke tujuh”

1.2   Babad Bagelen
Penulis tidak menyebutkan nama, hanya saja ia mencantumkan titi mangsa, “Tatkala menulis
mulai jam 12:00 malam Senin Manis Tanggal 5 Bulan Ramedhan Tahun Dal 1871 H. Menurut penanggalan Bangsa Belanda, ialah tanggal 7 Oktober 1940. Salinan naskah ini diawali dengan Tembang Asmarandhana, [seseorang dari Purworejo]”
Dari Sumber Babad Bagelen [Arsip Perpusnas, Salemba Raya, Jakarta] menyebutkan bahwa Raden Wiralodra masih trah dari Raja Majapahit.  Syahdan Garwa Ampiyan [Selir] Prabu Hayam Wuruk Majapahit menurunkan dua orang putra ; Raden Jayakusuma dan Nyimas Ayu Sandiyah. Nyimas Ayu Sandiyah menikah dengan Ki Manguyu Banyu Urip, menurunkan putri bernama Ni Pangran, Ni Pangran menikah dengan Ki Wunut [nama desa] lalu menurunkan putra kembar. Anak pertama perempuan [?] dan adiknya laki-laki [?], dari anak pertama itu kemudian menurunkan dua orang putra ; Bagus Taka dan Bagus Singa. Setelah dewasa kedua putra itu bekerja magang kepada Kyai Adipati Singaranu Mataram, atas jasanya menundukan banteng peliharaan Sultan Agung yang sedang mengamuk, maka Sultan Agung menjunjung derajat mereka berdua menjadi Mantri Domas dan dianugrahi gelar ; Bagus Taka menjadi Mantri Prawiralodra atau disebut juga Wiralodra, dan adiknya menjadi Mantri Singapati.
Setelahnya mendapatkan anugrah, mereka berdua pulang ke Bagelen dan menginap semalam di rumahnya di DESA NGANDONG. Selanjutnya Sultan Agung menitahkan kepada kedua Mantri Domas untuk ikut menyerang Batavia bersama Panembahan Purbaya melalui jalan lautan.
Dalam misi penyerangan itu Mataram mengalami kegagalan, maka pasukan ditarik mundur. Sementara itu Wiralodra tidak ikut pulang, ia memilih untuk mencoba berdagang di Betawi/Batavia. Sebelum mereka berpisah, saling berbagi pusaka, Raden Wiralodra membawa Kyai Bangkelung dan Si Kerok Batok, dan adiknya membawa Kyai Panubiru [pusaka leluhur Banyu Urip/Pangeran Jaya Kusuma], Si Pelus dan Si Tracak.
Singapati kembali ke Dusun Ngandong, meneruskan posisi Mantri Domas. Setelah sepuh sakit-sakitan kemudian atas kehendak sang prabu posisinya digantikan oleh putranya serta dijunjung derajatnya menjadi Ki Tumenggung Wangsanegara I, rumah tinggalnya di Desa Ngandong dan memerintah Domasan Bagelen. Kemudian kedudukannya digantikan oleh putranya yang bernama Wangsanegara menjadi Tumenggung Bagelen dengan memakai gelar seperti ayahanda, yaitu Tumenggung Wangsanegara II dan seterusnya.
1.3           Benarah Raden Wiralodra dari Keturunan Majapahit?
Dari pemaparan silsilah menurut kedua sumber Babad diatas, walaupun masing-masing babad menuliskan silsilah yang berbeda namun bisa disimpulkan bahwa Raden Wiralodra berasal dari Keturunan Raja Majapahit. Tentunya kita tidak dapat menerima begitu saja, masih perlu penelusuran dan pembuktian akan keabsahannya. Semisal manakah yang benar, dari garis Prabu Hayam Wuruk ataukah Prabu Brawijaya, tentu masih sangat perlu sumber-sumber lain sebagai pembuktian. Kiranya Serat Sujarah Ingkang Sangking Panengen Dumugi Karaton Tanah Jawi, Wiwit Kangjeng Nabi Adam, mungkin bisa dijadikan salah satu rujukan. Serat berisikan  Silsilah Brawijaya dan keturunannya itu di terjemahkan oleh R.W. Laksitowandowo, Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 2005.
Disamping ditelusur dari naskah-naskah kuno, kita juga dapat mengamati pusaka peninggalan leluhur, dari Babad Bagelen dan Babad Dermayu jika kita ramgkum maka Pusaka-pusaka yang terkait dengan Raden Wiralodra adalah ; Kyai Bangkelung, Si Tracak, Cakra Udaksana, Kyai Gagak Handaka, Kyai Gagak Pernala, Jubah Tambal, Oyod Mingmang Weang Latamaosandi. Nah benda-benda pusaka itu sangat penting kedudukannya serta perlu dikumpulkan untuk diuji kebenarannya, tentunya bisa melibatkan banyak pihak. Namun untuk sebuah pembenaran langkah itu kiranya perlu ditempuh.
  
2.             Ki Sidum Termasuk Leluhur Indramayu yang berjasa
Dalam perjalanannya mencari hutan Cimanuk mendapatkan restu dari kedua orang tua serta ditemani panakawan Kyai Tinggil, Raden Wiralodra berjalan menuju ke arah Barat dari Bagelen. Walaupun penuh dengan rintangan namun tetap teguh untuk mencapai cita2, perjumpaannya dengan Kidang Pananjung dari Pajajaran atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Buyut Sidum yang selalu memberikan petunjuk, akhirnya pada sauatu ketika melalui perantara Kijang Kencana maka ditemukanlah hutan cimanuk.
Raden Wiralodra bersama Ki Tinggil mulai membabad hutan mendirikan Padukuhan, setelah menjadi hamparan lahan subur yang luas maka banyak orang-orang yang berdatangan dari berbagai negara dengan maksud untuk menumpang hidup dengan bercocok tanan, membangun pemukiman dan lain sebagainya.
Tentang Kidang Pananjung atau Ki Sidum, Babad Galuh I menyebut bahwa ia adalah masih keturunan Prabu Lingga Hyang Pajajaran, kala itu sang prabu memiliki seksual yang menyimpang sebab wanita biasa tidak mampu untuk tidur bersama dengannya sehingga sang prabu sampai berhubungan dengan binatang kidang, kidang hutanpun hamil setelah melahirkan diberi nama Kidang Pananjung. Hal semacam itu sering tertulis dalam babad2 atau legenda yang lain, semisal Dayang Sumbi berhubungan dengan Anjing Si Tumang, kemudian mempunyai anak bernama Sangkuriang. Mungkin saja kidang betina ini adalah sebuah perumpamaan sebutan bagi wanita tepis wiring [desa pinggir hutan] atau wanita yang tinggal di hutan, sehingga pihak keluarga kerajaan yang merasa malu dan lebih terhormat itu memberinya julukan kidang.
Dalam Babad Galuh II disebutkan juga, bahwa masih keturunan dari Prabu Lingga Hyang yang bernama Prabu Panawungan menguasai wilayah prayangan di Pakuan Kulon. Kemudian Prabu Panawungan menurunkan putra bernama Kidang Pananjung.

Naskah Keprabonan menuliskan, “Kang dadi pamongmonge Siliwangi saking rarene mula, tetelu. Wulucumbu Tedhak saking kang heyang, kang haran [1] Sang Nulawas hiya Sang Carak Tuwa, ya Sang Lampung Jambul. Karo [2] Sang Kidang Pananjung. [3] Sang Gelap Nyawang.” Terjemah bebas ; yang menjadi pengasuh Siliwangi semenjak masih anak-anak adalah Panakawan yang masih merupakan keturunan dari Eyang [Prabu Pajajaran], yang bernama ; 1] Sang Nulawas atau Sang Carak atau Sang Lampung Jambul,  2] Sang Kidang Pananjung, 3] Sang Gelap Nyawang.

Lontar Babad Darma Ayu Nagari, 26 lempir, salah satu lempirnya menyebutkan ;
IKU BUYUT SIDUM TIYANG KARIHIN
KIDANG PANANJUNG KANG ASMA
PEJAJARAN ASLI NEKI
TUMENGGUNG SRI BADUGA
KANG KATAH JASA HIREKI
Terjemah bebas ; adalah Buyut Sidum orang kuno, ia bernama Kidang Pananjung yang berasal dari Pajajaran. [Seorang] Tumenggung Sri Baduga, yang banyak jasanya.

3.             Nyi Endang Darma
Pertemuan Raden Wirlodra dengan Nyi Endang Darma walau sempat berselisih  gara2 gugurnya Pangeran Guru bersama keduapuluh empat murid-muridnya yang berasal dari Palembang itu. Namun sebenarnya peran Nyi Endang Darma sungguh besar dalam menumbuh kembangkan padukuhan sakulon kali Cimanuk. Kala itu diperkenalkan pola bercocok tanam yang lebih maju, membatik, dan penca olah kanuragan. Sebuah wilayah yang maju disamping mmemiliki lahan yang subur dan luas, sudah barang tentu harus mempunyai hasil bumi yang melimpah dan masyarakat yang tangguh.
Dalam Naskah Babad Dermayu yang saya temukan/lihat dari ; Pamayahan, Tambi, Kertasmaya, Kandang Haur, dan Rangdu Gedhe. Rata-rata menyebutkan bahwa Nyi Endang Darma mencerburkan diri di tuk kali Cimanuk. Namun sesungguhnya apa yang terjadi antara Raden Wiralodra dan Nyi Endang Darma, dua sumber menyebutkan ;

1.               Lontar Babad Darma Ayu Nagari

BENJANG NYI ENDANG ING BESUK
DAUP KAGARWA ING KRAMI
KALIAN KI WIRALODRA …. (dua huruf)
ENGETA ING PELING
ORAKENA DEN CATURNA IKU
SA[k]E PAMOALINYA INDANG DARMA NIPUN
NULYA PUTRI NATA ANGGAYAKTI INGKANG SANES
Terjemah bebas ; Kelak Nyi Endang berjodoh menikah dengan Ki Wiralodra, ingat-ingatlah pada wasiat ini. Itu tidak boleh diceritakan, banyak pomali-nya menceritakannya, kemudian [berganti nama] putri nata Anggayakti yang lain.

2.              Manuskrip Kulit Menjangan

KI AGENG WIRALODRA
MAPAN SAMPUN KAGUNGAN GARWI
DHAUP LAWAN INDANG DARMA UTAWI RATU SAKETI
SANES JENENG MALIH
NYI GANDASARI RATU
SAMPUN KAGUNGAN PUTRA
SAKAWAN KATAH NEKI
PUTRA PUTRA KALAWAN PUTRI PRIYA

Terjemah bebas ; Ki Ageng Wiralodra telah beristri, berjodoh dengan Endang Darma atau Ratu Sakti. Adapun nama yang lain lagi Nyi Ratu Gandasari. Bahkan telah berputra banyaknya empat orang yaitu putra-putra dan putri priya.

Pada suatu ketika nama padukuhan Cimanuk diresmikan menjadi sebuah negara bernama Dharma Ayu atau Dermayu, dan Raden Wiralodra sendiri yang menjadi Ki Dalem ataupun Adipati Pertama di sana, manuskrip kulit menjangan menyebutkan bahwa Raden Wiralodra dinobatkan oleh Prabu Galuh Cakraningrat dengan gelar Prabu Indrawijaya. Tetapi Nyi Endang Darma dalam Babad Dermayu dinyatakan menceburkan diri di tuk kali cimanuk Gunung Papandayan, kemudian Raden Wiralodra tanpa disebutkan nama istrinya menurunkan empat orang putra ; Raden Sutamerta, Raden Wirapati, Nyi Ayu Inten dan Raden Driyantaka.
Sepeninggal Wiralodra Pertama kemudian kedudukan diteruskan secara turun temurun oleh ; Raden Wirapati Wiralodra II, Raden Sawerdi Wiralodra III, Raden Benggala Wiralodra IV, Raden Benggali Dalem Singalodra, Raden Semangun Wiralodra V, Raden Krestal Wiralodra VI, Raden Marngali Wirakusuma Wiralodra VII.
Adapun kemunduran Dermayu dimulai pada generasi ke empat, pada waktu itu antara Raden Benggala dan adiknya Raden Benggali saling berebut kekuasaan, adiknya begitu memaksa menginginkan posisi Dalem. Perselisihan itu sampai melibatkan Kompeni di Batavia, atas prakarsa Belanda kemudian jabatan Dalem digilir 3 tahun secara bergantian. Raden Benggala terlebih dahulu menduduki jabatan Dalem Dermayu, sedang adiknya sekeluarga dalam masa tunggu di bawa ke Batavia. Disana ia diperkenalkan budaya barat serta diracuni akan moralnya, sehingga ketika menjadi Dalem jiwa luhurnya pupus. Ia suka bersenang-senang tetayuban meronggengan, generasi berikutnya lebih terpuruk  sehingga banyak pencurian dan kerusuhan bahkan pemberontakan.
Keterpurukan Dermayu ternyata dimanfaatkan oleh Belanda dengan membantu pemadaman pemberontakan namun juga meninggalkan catatan2 hutang yang tidak mungkin bisa dibayar, oleh itu pihak Batavia berwenang bercampur tangan mengatur serta merombak sistem pemerintahan, hingga kedudukan Dalem diubah menjadi Demang dan keluarga2 yang lain ada juga yang dipekerjakan pada Instansi Mereka. Sebagai contoh Raden Kartaudara Demang Lohbener itu dipekerjakan menjadi Upas BOM, ada juga yang mendapat sebutan Demang Klektor [kolektor].
4.             Pemberontakan Ki Bagus Rangin
Kira-kira pada masa pemerintahan Wiralodra VI terjadilah pemberontakan Ki Bagus Rangin dan kawan-kawan. Pemberontakan ini begitu populer dan mendapat dukungan dari masyarakat luas sehingga pihak kompeni tidak mudah menangkapnya. Tentang siapakah Ki Bagus Rangin, salah satu sumber silsilah kebagusan yang penulis dapatkan dari Keluarga Ki Bagus Wangsakrama Anjatan, Indramayu. Menuliskan bahwa putri dari Selir Sultan Cirebon kala masa itu menikah dengan Ki Buyut Senteyom Majalengka kemudian menurunkan Ki Bagus Rangin. Silsilah Ki Bagus Rangin terpampang juga pada dinding Situs Sumur Sindu, Sumber Jati Tujuh.
Ki Buyut Senteyom merupakan ulama gedhe dari Demak yang menyebarkan Islam di Majalengka. Pada saat itu di bumi Nusantara sedang terjadi kekacauan yang di sebabkan oleh penjajahan Belanda, demi untuk melanggengkan kekuasaan di nusantara Belanda mengadu domba pihak2 penguasa setempat, tidak luput juga terjadi konflik di Cirebon dan Indramayu sebagai bawahannya.
Inilah yang membuat jiwa besar Ki Bagus Rangin berontak, ialah tidak tinggal diam manakala hak2 rakyat diinjak2 dan disengsarakan. Sudah barang tentu nama Ki Bagus Rangin melekat di hati masyarakat, karena beliau adalah pejuang dan tokoh ulama yang dihormati. Jejak2 persinggahan Ki Bagus Rangin sampai sekarang masih dapat ditelusuri diantaranya ; Sumur Dalem terletak di sebelah Selatan Desa Amis, Alas Sinang, Rawa Citra, terus hingga ke pegaden dan tempat2 bersejarah lainnya.
                                                                                                                                                                       
Daftar Pustaka
1.       Babad Dermayu Naskah Pamayahan
2.       Babad Bagelen Naskah Perpusnas Jakarta
3.      Lontar Babad Darma Ayu Negari, Museum Pemda
4.      Manuskrip Kulit Menjangan, Museum Pemda
5.      Babad Cirebon Naskah Sindang, Ki Dulpari, 1862
6.      Silsilah Keluarga Ki Bagus Ade Suwandi, Anjatan



Saturday, March 12, 2016

JUBAH KI BUYUT LEPIYAN DESA KAMPLONG, INDRAMAYU

Menurut penuturan Ki Sunardi [80-an], moyangnya yang bernama Ki Buyut Lepiyan, dahulunya berasal dari Bagelen. Dan masyarakat disana telah mengenal keluarga itu adalah keturunan orang Bagelen, Ki Sunardi menceritakan bahwa ciri khusus bagi para keturunan Bagelen adalah dapat dilihat pada kuku ibu jari/kaki. Kala itu Ki Buyut melarikan di ke Desa Kamplong untuk menghindari kejaran dari Pasukan Kompeni Belanda. Ki Buyut Lepiyan, konon salah seorang yang turut serta dalam Perang Kedongdong yang tersohor itu. Ketika sy tanya, siapakah nama orang yang diatas Ki Buyut?, spontan Ki Sunardi menjawab Ki Bagus Rangin. Rupaya tokoh pejuang rakyat ini masih banyak dikenal oleh masyarakat bawah.

Menurut penuturan Ki Sunardi yang ia dapatkan dari cerita turun-menurun, dan beliau juga masih ingat sewaktu kecil  dahulu pernah menyaksikan benda2 peninggalan Ki Buyut Lepian, seperti ; Kopiyah Waring, Jubah Batik, Pedang dan Keropak. Namun sekarang yang tertinggal adalah hanya jubahnya saja. Menurut cerita jubah itu memiliki kekuatan magic, maka jubah itupun pernah dipinjam seseorang yang terkait kemiliteran untuk di bawa ke Bosnia, Ambon serta sering juga dipinjam untuk keperluan2 lainnya.

Ki Dalang Karno, kemudian memohon idzin untuk mengenakan jubah itu, dengan maksud untuk menyamakan postur tubuh, kira-kira setinggi dan sebesar apa orangnya. Alhamdulillah rupaya postur tubuhnya Ki Dalang sama, dan ketika mengenakan baju itu Ki Dalang juga merasakan adanya energi.

Tetapi saya lebih tertarik pada motif batiknya [Kembang Wijayakusuma?], mungkin saudara2 ada yang mengetahui jenis motif batik ini dari mana?. Jika dikaitkan dengan peristiwa Perang Ki Bagus Rangin yang terjadi pada tahun 1805 - 1812, maka usia baju itu lumayan sudah cukup tua, dan sangat pantas untuk di Museumkan sebagai bukti sejarah. Namun sebelumnya perlu diadakan penelitian dahulu untuk menentukan keabsahannya.


Sepertinya dari motif batik ini, kita dapat lebih mengetahui tentang identitas daripada tokoh
Ki Buyut Lapiyan ini. Ki Buyut konon mempunyai seorang kakak yang bernama Ki Buyut Sawo di Desa Gabus Saradan, Kec. Gabus. Menurut penuturan keluarga, pedang yang telah raib dari Desa Kamplong itu juga diperkirakan berada di keluarga sana. Semoga diantara pembaca ada juga yang ikut terpanggil untuk mengungkap jati diri tokoh sesepuh Desa Kamplong ini.

Salam Budaya, Rahayu...