Tarka Hanacarakajawa
Sunday, October 6, 2019
Tuesday, May 14, 2019
Tabir Mantra/Jawokan Indramayu
Menelusiri Mantra/Jawokan Indramayu yang bernilai Keagamaan (Islam)
Sekedar mengenang masa lalu, ketika tahun 1995. Saya dipertemukan dengan seorang sesepuh yang bernama Bapa Tua Kasim, tinggal di Desa Badak. Selain memiliki banyak pusaka, beliau juga mempunyai Naskah Kuno. Sayang kala itu saya belum begitu memahami tentang manfaat naskah kuno, jadi saya hanya membuka, membaca dan menukil beberapa bagian Tulisan Aksara Jawa Bahasa Cirebon - Dermayu itu. Andai saja Naskah itu tidak hilang, pasti banyak informasi menarik yang bisa disimak, ......
Adus
Banyu Pitu, winaca ning unggal adus (mandi air tujuh rupa, dibacakan pada
setiap mandi)
Bismillahirrahmannirrahim
Niat isun adus banyu pitu salat kering
Kaping siji banyu metu saking cangkem, banyu datullah arané
Kapindo banyu metu saking cungur, banyu mungkin arané
Lan kaping telu banyu metu saking mata, banyu maningkin arané
Kaping papat banyu metu saking kuping, banyu mangingkin arané
Kaping lima banyu metu saking dubur, banyu kudratullah arané
Kaping nenem banyu metu Dakar, banyu mengurap arané
Kaping pitu banyu metu saking badan, banyu kudrat arané
Niat hamba mandi air tujuh rupa, salat kering.
Pertama air keluar dari mulut, air dzatullah namanya. Kedua air keluar dari
hidung, air mungin namanya. Ketiga air keluar dari mata, air maningkin namanya.
Keempat air keluar dari telinga, air mangingin namanya. Kelima air keluar dari
dubur, air kudratullah namanya. Keenam air keluar dari dzakar, air mengurap
namanya. Ketujuh air keluar dari badan, air kudrat namanya.
Keterangan :
Salat Jw. Indramayu ; semakin menjadi, semakin
Kering ; badan kekar, tegap, berisi
Salat kering dimaksud bukan salat garingan (yang hanya cukup niat dihati saja tanpa menjalankan
salat)
Donga Sadurungé Sembayang, nuli katerusaken kalian niat utawi
nawaétu sembayang (Do’a sebelum salat, kemudian diteruskan dengat niat salat)
Bismillahirrahmannirrahim
Nawaétu wijilé sukma
Nokat gaib natu gaib
Suci islam badan sampurna
Usoli urip ya hu iman tutup urip
Usoli minal kanapsi
Bersih suci roh awak ingsun
Subekan malikul bersih suci roh raga ingsun
Subekan wal adiyati bersih suci roh nyawa ingsun
Niyat ingsun ngucapaken jaya sampurna
Surya megar surya megar
Surya munjuk maring méga mulya
Sang ari-ari abang kang ana ning arep
Sang pepusu kang ana ning guri
Nini langgeng kaki langgeng
Aja owah saumuré isun urip
Niat merupakan inti sukma, nokat gaib natu
gaib (cahaya yang merasuk ke dalam hati, menimbulkan hasrat) suci islam badan
sempurna. Usoli (niat) hidup, Ya Hu iman (ingat kepada Allah) hingga akhir
hayat. Usoli minal kanapsi (mengendalikan
nafsu?), bersih suci roh jasadku. Subhan
malikul bersih suci roh ragaku, subhan
wal ‘adiyati bersih suci roh nyawaku.
Hamba mengucapkan ilmu jaya sempurna, surya mekar
surya mekar (cahaya pikiran yang semakin terang). Surya semakin naik ke mega mulia
(ilmu pengetahuan yang semakin tinggi), Sang
Ari-ari Abang yang berada di depan, Sang
Pepusu yang berada di belakang. Nini Langgeng
Kaki Langgeng (pekéling, iman islam jangan berubah seumur hidupku.
Keterangan : Sang
Ari-ari abang dan Sang Pepusu sama halnya dengan Kakang Kawah dan Adi Ari-ari. Dalam kepercayaan
lama, menganggap keduanya juga merupakan mengasuh/mendampingi secara gaib seseorang
selama hidupnya.
Sunday, December 9, 2018
Situs Mundu Cirebon
1.
Sewaktu nikah dahulu Sunan Kalijaga juga menikahkannya dengan maskawin “mati syahid” Suatu hari pangeran bermaksud hendak berkunjung ke Rama Kanjeng Susuhunan Jati dengan menunggang kapal, tetapi sang istri Ratu Nyawa melarangnya agar jangan melewati lautan.
2.
Disarankan agar pergi melalui jalan darat saja, jika
berlayar dikhawatirkan bertemu dengan bajak laut. Pangeran Bratakelana berkata,
“wahai istriku, janganlah merasa khawatir atas kehendak Hyang Agung” kemudian
pangeran berangkat bersama dengan kedua panakawan yang bernama Binti dan Banta.
3.
Kapal sudah bergerak melaju ke tengah samudra, tiba-tiba bertemu dengan sekelompok para bajak
laut yang mengepung dari arah kanan kiri. Mereka menyerang mengeroyok, namun
pangeran tidak mau mundur maka terjadilah peperangan. Sementara itu Banta-Binti
segera meloloskan diri dengan menceburkan diri ke lautan,
4.
Ia memanggil-manggil dari kejauhan agar pangeran segera
meloloskan diri menyusulnya sebab bukanlah tandingan menghadapi para bajak laut
yang berjumlah banyak. Pangeran Brata Kelana berkata, “hei panakawan
5.
ketahuilah olehmu, inilah jalanku menuju surga aku akan
dijemput oleh bidadari sebanyak sakethi” kemudian seorang bajak laut menyerang, pangeran cekatan menyikutnya hingga
ia jatuh pingsan kecebur di laut. Maka teman-teman mereka segera menyerang [hlm. 301]
6.
ditepak dadanya terjatuh, namun ada yang menyerang dengan
menghujamkan keris. Keris ditepak ujungnya patah bahkan posisinya membalik ke
pelipis si bajak laut, terus menembus kepalanya hingga kempolo si bajak muncrat
keluar. Ada yang mencoba membedil namun senjatanya mendadak
macet, sehingga ia menyerang dengan memukulkan bedil itu.
7.
Pangeran cepat berkelit, sambil menjejak selangkangan
maka si bajakpun jatuh tersungkur. Kepala bajak
laut segera bertandang menolong anak buahnya, dengan menaburkan jaring setelah
terperangkap, kepala bajak menyuruh agar pangeran jangan langsung dibunuh,
supaya dikeroyok saja dahulu.
8.
Maka empat orang dari mereka segera maju menyerang dengan tambang, namun pangeran selalu dapat
meloloskan diri. Jika sudah tertangkap langsung diikat, namun kaki pangeran
bisa menyerang menendangi mereka hingga tak berdaya lagi. Kepala bajak laut segera menghunus pedang
9.
yang suka dipergunakan untuk menyembelih anjing hitam.
Kemudian bagian muka yang tajam itu dipedangkan ke arah pangeran, maka muka
pedang yang terkena najis itu mendadak
terbalik hingga ganjanya copot. Maka secara aneh malah paksinya yang
menancap pada
10.
dada pangeran hingga pecah, maka gugurlah ia mati syahid
terombang-ambing terbawa ombak lautan. Hingga suatu ketika jasad pangeran
terdampar di pantai Mundu, kemudian Banta-Binti
memberitahukan kepada Ki Gedeng Sena Mundu.
11.
Ki Gedeng terkejut, ia berlarian hendak melihat jasad
pangeran, setelah jelas kemudian [hlm. 302] penduduk Mundu segera diberitahu agar semua orang supaya menghaturkan
keris. Dengan maksud hendak
menghaturkan pesakitan sebab putra jeng sinuhun telah gugur di wilayahnya.
12.
Malahan orang-orang Mundu pada mengikat diri sendiri
serta bagian yang tajam daripada keris itu dipersiapkan untuk bunuh diri. Tak
lama kemudian Sunan Jati, Sunan Kali,
dan Pangeram Makdum berdatangan ke tempat itu.
13.
Ki Gedeng Sena menghaturkan bela pati atas semua
abdi-abdi, Sunan Jati telah memaafkan mereka kemudian berkata dengan suara
perlahan, “jika saudara mau berdoa kepada Hyang Agung memohonkan agar putraku
hidup lagi, pastilah putraku akan hidup. Tetapi ini semua sudah merupakan
takdir dari Allah,
14.
syukur jika putraku gugur dalam jalan syahid” kemudian jasad
telah disucikan selanjutnya diletakan dalam keranda yang bagus, tidak langsung
dikuburkan karena masih menunggu untuk Sultan Demak yang sedang dijemput. Kemudian
datanglah Sultan Demak bersama sang putri Ratu Nyawa.
15.
Begitu tiba sang sultan membisu tak dapat berkata-kata,
sementara itu Ratu Nyawa menangis sedih sambil menyungkemi kaki Sunan Jati.
Sambil terisak-isak menahan tangis berkata, “dahulu kenapa mengucapkan maskawin
mati syahid, jika sudah begini bagaimana dengan nasib hamba?”
16.
Sunan Jati berkata, “bayi, suamimu tidak mati. Ia mau
munggah ke alam mubasyirin” tak lama setelah disabda seperti itu pangeran
hidup kembali lalu berkata, “Rayi Ratu, Kakangmu ini tidak mati hanyalah
berganti negara saja” [hlm. 303]
17.
Sunan Jati menyambung sabda, “anakku
lanjutkanlah perjalananmu munggah ke alam mubasyirin yang merupakan tempat dari
orang-orang yang gugur dalam perang sabil” maka pangeran mendadak terkulai
lemas mati lagi. Bersamaan itu terbukalah pintu surga, bebunyian di dalam sana
sampai terdengar menawan.
Para walipun merasa
tentram hatinya, kemudian Sultan Demak berkata kepada Pangeran Makdum, “Sunan Jati sedang mencoba
karomahnya” kemudian jenazah pangeran dikebumikan di tanah Mundu dan disebut Pangeran
Sedang
Lautan.
Sunday, December 2, 2018
KI SIDUM INDRAMAYU
MENELUSUR
JEJAK KI SIDUM
Sanggar Aksara Jawa Kidang Pananjung Indramayu
Nama Ki Sidum sangat erat
dengan masyarakat Indramayu ini bisa dihubungkan dengan nama situs di beberapa
desa, menurut Babad Dermayu Raden Wiralodra dan Ki Tinggil tatkala mencari Kali
Cimanuk sampailah di tepi sungai Citarum. Dalam keraguan mereka berdua
beristirahat duduk-duduk di tepi sungai besar itu sambil mengambil buah-buahan
hutan untuk dimakan. Ki Sidum merasa kasihan melihat kedua orang ini, dalam
Pupuh Tembang Kinanti diceritakan ;
//o// wus lami lampah
pukulun / saking bagelén negari / tigang tahun lampah hamba / ing pundi cimanuk
kali / kula déréng antuk warta / mugi kaki anulungi //o// ki sedum wecana arum
/ sarwi menggap-menggap aris / dehem watuk awecana / duh ki putu welas mami /
iku sira iya keliwat / kesasar lampah iréki //o// puniki kali citarum /
karawang bagiyan néki / sampun kaliwat tebih / kedah wangsul malih kaki /
amesisir lampah dika / ngalér ngétan lampah néki //o//
(Raden
Wiralodra berkata), “Sudah lama perjalanan hamba dari Negara Bagelen, sudah
tiga tahun hamba mencari Kali Cimanuk namun belum mendapatkan berita dimana letaknya.
Semoga Kakek mau menolong hamba.” Ki Sidum menjawab santun dengan napas yang
menggap-menggap sambil terbatuk-batuk, “Duh cucu, aku merasa kasihan.
Perjalananmu ini tersesat, yang kamu cari sudah terlewat. Ini adalah Kali
Citarum berada di wilayah bagian Karawang. Kamu sudah terlewat jauh, maka harus
balik lagi dengan mengambil jalan melalui pesisir ke arah Utara terus ke Selatan.”
Siapakah sebenarnya Ki
Sidum yang telah memberikan petunjuk tersebut? Setidaknya ada beberapa tempat
situs petilasan Ki Sidum di wilayah Indramayu yang sudah sangat dikenal
masyarakat diantaranya berada di ; Pasekan, Temiang Sari dan Majasari Sliyeg.
Belum lagi ada situs-situs lain yang dikaitkan dengan nama beliau, ini
menunjukan bahwa penokohan Ki Sidum mempunyai tempat tersendiri di hati
masyarakat. Sementara itu dalam Lontar Babad Dharma Ayu Nagari menjelaskan
identitas Ki Sidum ;
iku
buyut sidum tiyang karihin
kidang
pananjung kang asma
pejajaraan
aslinéki
tumenggung
sri baduga
kang
katah jasa hiréki
|
Terjemah bebas ; Buyut
Sidum itu orang dahulu, namanya Kidang Pananjung yang berasal dari Pajajaran.
Tumenggung Sri Baduga yang banyak jasanya.
|
Dapatlah
diduga bahwa wilayah Dermayu atau pesisir pantura pada jaman dahulu masih
merupakan wilayah Pajajaran, hal ini dapat dilihat dari keterangan bahwa Kidang
Pananjung atau Ki Sidum merupakan salah satu Tumenggung Sri Baduga Pajajaran.
Sehingga ia mengetahui dengan jelas tentang letak posisi kali Cimanuk wilayah
bawahan yang dicari oleh Raden Wiralodra dan Ki Tinggil untuk dibangun
pedukuhan, serta juga dibuktikan dengan adanya titik-titik situs keramat yang
berkaitan dengan dirinya. Hal ini menandakan bahwa Ki Sidum memang akrab dengan
wilayah pantura duk kala jaman semana, sedangkan Dalam Babad Dermayu Naskah
Losarang disebutkan bahwa letak posisi Hutan Kali Cimanuk yang hendak dibabad
oleh mereka berdua adalah yang air kalinya berwarna kemerahan sebagai penanda
berdekatan jaraknya dengan muara Cimanuk.
Beberapa
Sebutan Kidang Pananjung pada Naskah Lainnya
1.
Naskah
Majalengka
//o//
kang satunggil putranné rangga pakuwan metu saking raja sédhangwangi hingaranna
sangiyang kokor parennahhé hing panémbong / kang satunggil putranné perebu
mundingkawatti / hapuputra kidhang pannajung / kidhang pannajung
hapuputra ratu widha / ratu widha hapuputra parrebu wesi perrenahhé
hing raja polah //o// kang satunggil putranné hing ngarranna sangiyang madha
warrak kang metu saking tompo / kang satunggil putranné hing ngaranna radhén
kalipah / kang satunggil putranné hing ngaranna radhén sinom / radhén [hlm. 25] sinnom hiku perrenahhé hing
suci //o//
Terjemahan
bebas ; keturunan Ratu Sunda yang lain bernama Rangga Pakuan lahir dari Raja
Sedawangi. Rangga Pakuan disebut juga Sangiyang Kokor bertempat di Panembong.
Putra Ratu Sunda yang lain bernama Prabu Mundingkawati, menurunkan putra
bernama Kidang Pananjung kemudian menurunkan putra bernama Ratu Wida,
kemudian menurunkan putra bernama Prabu Wesi bertempat di Raja Polah. Putra
Ratu Sunda yang lain bernama Sangiyang Mada Warak lahir dari Tompo, putra yang lainnya bernama Raden Kalipah,
putra yang lainnya Raden Sinom bertempat tinggal di Suci.
BAGAN
SILSILAH
//o//
mangka bedhil hiku dhihedhum-hedhum si gutur geni perennahhé hing mataram / si
santommi parrenahhé hing carebon / si hamuk parrenahhé hing banten / mangka
putra siliwangi metu sakking padhanna watti hing ngarranna [hlm. 34] rangga mantri //o// rangga
mantri hapuputra ratu sélawatti / sélawatti hapuputra sang ngadhipatti
parrennahhé hing kuningan / sang ngadhipatti hapuputra ratu sédhalarang /
sédhalarang hapuputra perebu caradhéwa / caradhéwa hapuputra ki dhipatti
sangacala / dhipatti sangacala hapuputra kidhang panajung / kidhang panajung
hapuputra kakalih / kang sepuh hing ngaranna beras harum parrenahhé hing pajalu
/ kang nganom parrenahhé hing rajapolah //o//
Dari
alihaksara tersebut dapat dibuat Bagan Silsilah sebagai berikut ;
2.
Babad Galuh
Terjemah bebas dari bagian Pupuh
Asmarandana
Tatkala
Prabu Mundingkawati bersama para wadyabalanya bersukacita melakukan perburuan kidang
dan menjangan ditengah hutan maka rombongan masuk ke wilayah menjangan sentana,
yang merupakan tempat tinggal daripada menjangan jejadian keturunan dari Prabu Linggaiyang.
Tatkala itu Sang Prabu telah bersetubuh dengan menjangan (samaran?), menjangan hamil dan kemudian menurunkan putra,
adapun nama-namanya ; Manjangan Gumulung Sakti dan Manjangan Wulung Upas
bertempat tinggal di Galunggung. Tanopen
Kidang Ancaran dan Kidang Panawungan, yaitu yang merupakan keturunan Prabu
Linggaiyang kang sasmata. Manjangan
Gumulung Sakti adalah rama dari Manjangan Gumaringsing yang menjadi nata jua.
Sang Kidang Panawungan ialah rama dari Sang
Kidang Pananjung di Sunda.
Bagan Silsilah
Pada bagian Pupuh Durma, menceritakan
Ketika usianya mencapai 11 tahun, Siliganda
(Siliwangi) sudah bisa merebut kembali puri yang telah dikuasi musuh. Setelah
takluk Manjangan Gumaringsing akhirnya mengabdi dan diampuni kesalahannya, kemudian
ia diberikan wilayah kekuasaan di Negara Galunggung. Selanjutnya Jaka Siliganda menuju ke arah Barat,
hingga sampailah di Parayangan. Syahdan Kidang Panawangsa (Panawungan) tatkala
melihat bayangan seseorang yang berkelebat segera diburunya. Namun Siliganda segera
menjemputnya, disabet dengan anak panah hingga putuslah badan sang kidang
gugur seketika. Kemudian putranya hendak belapati kepada sang rama, Kidang
Panjing mengejar Sang Siliwangi. Segera ia melepaskan panah, mata panah melucur
cepat menembus Kidang Pananjung hingga terjatuh. Namun ia berubah menjadi
seseorang yang kemudian cepat menghaturkan sembah bakti kepada Siliwangi.
Itulah asal-usulnya adanya Menak Prayangan, ialah kijang berubah menjadi
manusia kembali.
Kala dahulu telah menduduki pura selama 11
tahun, sekarang mendadak kembali direbut oleh Jaka Siliwangi. Disitulah Kidang
Pananjung, dimaafkan atas kesalahannya malahan diberikan wilayah kekuasaan
tempatnya di Panawungan. Sudah kembali keraharjaan di bumi Pajajaran, Siliwangi
yang kemudian digadang-gadang menjadi raja.
ANALISA TENTANG KI SIDUM
Ki
Sidum disebut-sebut juga masih merupakan leluhur Sumber, Majalengka. Ada
kepercayaan pada sebagian masyarakat Indramayu bahwa keluarga Sumber (orang
tertentu) bisa dimintakan berkahnya untuk memohonkan kepada Allah Swt agar cepat
dianugrahi akan turunya hujan tatkala dimusim kemarau panjang. Kosa kata
“Sidum” sendiri identik dengan suasana di pegunungan yang terdapat lebih banyak
curah hujannya ketimbang di wilayah pantura, wilayah dimaksud mungkin adalah
daerah Pasundan atau Parahyangan. Kata “Sidum” bermakna ; mendung, situasi
banyak mendung menjelang hujan, atau hujan terus-menerus walaupun berupa
gerimis atau tidak turun hujan lebat. Sampai-sampai ada keyakinan di masyarakat
bahwa ketika keturunan Ki Sidum melakukan hajatan walaupun hajatannya berada dimusim
kemarau, seringkali turun hujan (wallahu’alam bisowab). Jika dikaitkan dengan
sumber berita cerita beberapa naskah kuno yang berhasil dikumpulkan, Ki Sidum
bisa disimpulkan seseorang dari wilayah kidul atau pegunungan.
Di
Desa Ligung, Majalengka ada situs makam Ki Sidum yang terletak dibantaran Kali
Cimanuk, Ki Bagus Ade Suwandi Cilandak, Anjatan Indramayu yang merupakan
seorang cucu dari Patu (Tetua) Waluh Sumber. Menjelaskan bahwa dirinya termasuk
salah satu generasi dari Ki Bagus Arsitem Sumber-Majalengka, ia masih memegang
beberapa warisan Pusaka Sumber secara turun-temurun. Oleh itu keluarganya juga
ikut menjadi penentu / menunjuk seseorang untuk dijadikan pengganti kuncen Situs
Ki Sidum Ligung yang selanjutnya.
Siapakah
Ki Sidum? Pada jaman Raden Wiralodra Babad Alas Kali Cimanuk disebutkan bahwa
Ki Sidum nama aslinya adalah Kidang Pananjung dari Pajajaran. Sebagai bukti
penguat tentang keberadaan tokoh tersebut nama Kidang Pananjung juga disebutkan
dalam Naskah Majalengka, dan Babad Galuh. Kidang Pananjung merupakan keturunan
Prabu Linggaiyang Pajajaran bahkan Siliwangi sendiri memberikan wilayah kekuasaan kepadanya. Namun Rupanya nama Kidang
Pananjung juga tidak saja ada pada jaman Pajajaran, namanya juga muncul pada
keturunan daripada Adipati Kuningan yang merupakan trah keturunan dari Rangga
Mantri atau Ki Pucuk Umun Telaga. Bisa saja Ki Sidum yang situsnya terletak di
desa Ligung Majalengka itu merupakan keturunan dari Adipati Sangacala, karena
memang antara Majalengka dan Kuningan jaraknya tidak begitu jauh.
Bagaimana
dengan Ki Sidum Temiangsari?, wit penjalin dalam bahasa Sunda disebut dengan
nama Temiang, sedangkan kata Sari sendiri
mengandung makna ; pokok, sumber (intisari), atau bagus. Tidak jauh dari
Desa Majasari yang mana terdapat situs petilasan Ki Sidum juga ada situs
keramat Alas Penjalin, pohon penjalin atau temiang disana sampai sekarang juga
masih tumbuh. Menurut cerita leluhur Cikedung “Penjalin Telaga” (dari salah
satu situs karamat) juga sangat terkenal untuk digunakan sebagai jimat atau
piyandel. Dengan demikian apakah memang wit penjalin ini sebagai penanda trah
Telaga, sebagaimana leluhur daripada Kidang Pananjung yang berujung kepada
Rangga Mantri / Pucuk Umun? Untuk mengungkap fakta ini tidaklah mudah namun
setidaknya bisa dijadikan sebagai titik penerang untuk menarik hubungan tokoh
Ki Sidum Temiangsari dengan para leluhurnya.
Ki
Sidum memang suka berkelana, dalam Babad Dermayu disebutkan suka malihwarna
berubah wujud menjadi seorang kakek petani, juga berpindah-pindah tempat dalam
memandu Raden Wiralodra dan Ki Tinggil untuk menemukan letak Kali Cimanuk.
Sebagaimana kebiasaan leluhur linuwih jaman dahulu selalu berpindah-pindah
tempat untuk menanamkan jasab guna membuka
lahan baru yang kelak dihuni oleh orang lain yang membutuhkannya.
Wallahu’alam bisowab
Subscribe to:
Posts (Atom)