Sunday, May 28, 2017

AKSARA PRASATI KAYU

Milik : Museum Sribaduga Bandung
Aksara : Jawa – Gagrak Cirebon
Bahasa :  Cirebon

Rasa penasaran itu sedikitnya terjawab, sepertinya papan kayu ini dahulunya pernah dicat atau diberi warna ulang. Sehingga membuat sandangan menjadi agak samar bahkan ada beberapa sandangan / tanda curek bawah yang sudah tertutup warna hitam. Namun meski demikian masih terlihat cekungan-cekungan sandangan atau penanda khusus [Aksara diCurek Bawah]. Sebagaimana penulisan “Naskah Ramayana Cirebon” milik dari Bapak drh. R.H. Bambang Irianto, BA Rumah Budaya Nusantara Pesambangan Jati Cirebon, khaidah penulisannya hampir sama. Semisal NA curek bawah dibaca menjadi KA, RA curek bawah dibaca menjadi TA dan lain-lain. Ada penggunaan Aksara Murdha pada Papan Kayu tersebut, Gagraknya hampir menyerupai prasasti pada tembok Keraton Kacirebonan.

Hasil analisa sementara ;

BARIS – 1       :           PÉMUT SABAN KADIPA –
BARIS – 2       :           TÉN KAWIT HAKITHA DINNA
BARIS – 3       :           KEMIS TA[NG]GAL 4 WULAN RABILANGULA HAKIR
BARIS – 4       :           TAHUN HALIP WINDU SA[N]CAYA MAKA SANGNA[KA] KALLA
BARIS – 5       :           BABAD JAMAN KALA BRASTHAMURTI KINDRA BUPA –
BARIS – 6       :           TI KAWINNÉ BABAD JAMAN KALA 1780 NUJU WU –
BARIS – 7       :           LAN WALANDA TA[NG]GAL 6 PIBERWARI MAKA SIANNAKA-
BARIS – 8       :           LLAN DIPA MANDHAPANYA KRAJA T[Y]AN KARTINNÉ TAHUN
BARIS – 9       :           1851     


Terjemah bebas :  untuk diingat bagi setiap Kadipaten tatkala hari Kamis tanggal 4 bulan Rabi’ul Akhir Tahun Alip Windu Sancaya. Maka Sangkakala Babad Jaman Kala “Brasthamurti Kindra Bupati” bertepatan dengan Babad Jaman Kala tahun 1780 pada bulan Belanda tanggal 6 Februari. Maka dengan tahun Sengkala “Dipa Mandhapanya Krajayan Kartiné” Tahun 1851.

Friday, May 12, 2017

MASA SILAM INDRAMAYU

MASA SILAM INDRAMAYU MENURUT KACAMATA NASKAH KUNO
Ki Tarka Sutarahardja – Sanggar Aksara Jawa Indramayu


I.                   BABAD DERMAYU
Siapakah Raden Wiralodra? Utuk mengungkap jati diri leluhur Indramayu ini maka munculah pendapat pro dan kontra. Di dalam beberapa Babad Dermayu yang tersebar di masyarakat [Pamayahan, Kandang Haur, Tambi, Randu Gede] disebutkan bahwa Raden Wiralodra adalah putra dari Raden Gagak Singalodraka Adipati Bagelen yang terletak di wilayah Purworejo Jawa Tengah.
Sementara Babad Dermayu Naskah Kertasmaya, alih aksara oleh dr. R. Bambang Irianto, BA dan Muhamad Mukhtar Zeidin yang diterbikan Perpusnas, Jakarta. Alur ceritanya sejalan dengan Babad Dermayu Koleksi Naskah Kuno dari Mesium Sri Baduga Bandung (dalam proses alih aksara), dan Babad Dermayu Naskah Pamayahan milik saya sendiri (2005).
Sebagaimana telah diketahui bahwa Raden Wiralodra dan Ki Tinggil mencari Kali Cimanuk atas dasar wangsit yang telah diterimanya sewaktu bertafakur di Gunung Sumbing, ia mendapatkan wangsit untuk membabad dan membuka padukuhan di hutan tersebut. Atas Petunjuk Ki Sidum kemudian mereka berdua menemukan tempat tujuan dan membangun pedukuhan di sana. Tentang Ki Sidum, di dalam lontar Babad Dharma Ayu Nagari menyebutkan ;
IKU BUYUT SIDUM TIYANG KARIHIN                           Buyut Sidum adalah orang dahulu
            KIDANG PANANJUNG KANG ASMA                            Namanya Kidang Pananjung
            PEJAJARAN ASLI NEKI                                                        Asli dari Pajajaran
            TUMENGGUNG SRI BADUGA                                         Tumenggung Sri Baduga
KANG KATAH JASA HIREKI                                                               Yang banyak  jasa-jasanya

Semenatara itu Dalam Babad Galuh I, yang disalin mulai hari Senin Wage bulan 2 tanggal 9, tahun Be 1280 H (Penulis, Anonim) menyebutkan bahwa Kidang Pananjung adalah putra dari Prabu Linggahiang, Pakuan Pajajaran. Kidang Pananjung masih bersudara dengan Menjangan Gumarang (dari lain ibu). Situs tentang Ki Sidum terdapat di beberapa tempat seperti ; Pasekan, Temiangsari, Ligung, dan sangat dimungkinkan masih ada di tempat-tempat lain.
Raden Wiralodra dan Nyi Endang Darma bersama-sama membangun padukuhan Cimanuk, dalam babad itu disebutkan pada sebuah adu kedigjayaan, antara Nyi Endang Darma dengan Raden Wiralodra berkhir dengan tragis. Nyi Endang Darma menolak menikah dengan Raden Wiralodra yang akhirnya ia menceburkan diri di tuk Kali Cimanuk Gunung Papandayan. Nyi Endang Darma sempat berpesan agar kelak jika telah menjadai negara Padukuhan Cimanuk itu supaya diberi nama menjadi Dharma Ayu sebagai kenangan atas dirinya. Nama Dharma Ayu kemudian berubah menjadi Dermayu.
Namun Sumber lain berupa Lontar Babad Dharma Ayu Nagari dan Manuskrip Kulit Menjangan, keduanya menyebutkan selaras ;
Lontar Babad Dharma Ayu Nagari

BENJANG NYI ENDANG ING BESUK                              Kelak Nyi Endang Darma
DAUP KAGARWA ING KRAMI                                         Menikah berjodoh
KALIAN KI WIRALODRA …. (tidak terbaca)                 Dengan Ki Wiralodra
ENGETA ING PELING                                                          Namun agar diingat
ORAKENA DEN CATURNA IKU                                        Tidak beloh diceritakan
SAKE PAMOALINYA INDANG DARMA NIPUN          Banyak pomalinya
NULYA PUTRI NATA ANGGAYAKTI INGKANG SANES           kemudian berganti nama menjadi
Putri Nata Anggayakti

             Manuskrip Kulit Menjangan

             KI AGENG WIRALODRA                                                             Ki Ageng Wiralodra
             MAPAN SAMPUN KAGUNGAN GARWI                                     Telah mempunyai istri
             DHAUP LAWAN INDANG DARMA UTAWI RATU SAKETI        Menikah dengan Endang Darma [Ratu Saketi]
             SANES JENENG MALIH                                                              Adapun nama lainnya
             NYI GANDASARI RATU                                                              Nyi Ratu Gandasari
             SAMPUN KAGUNGAN PUTRA                                                   Telah mempunyai putra
             SAKAWAN KATAH NEKI                                                            sebanyak empat orang
             PUTRA PUTRA KALAWAN PUTRI PRIYA                                  Dua lelaki, perempuan, laki-laki 

Sedangkan dalam Babad Dermayu yang tersebar dimasyarakat menyebutkan bahwa Dalem Wiralodra [I] tanpa menyebutkan nama garwa telah mempunyai empat orang putra ; Raden Sutamerta, Raden Wirapati, Nyi Ayu Inten dan Raden Driyantaka. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa jatidiri Garwa Dalem Dermayu itu disembunyikan, menurut pendapat saya berdasarkan telaah yang ada, sebab pada saat itu terjadi pergolakan politis perang Galuh Cirebon, serta atas perintah Rama Singalodra Bagelen untuk menangkap hidup ataupun mati Nyi Endang Darma yang telah menyebabkan gugurnya Pangeran Guru Palembang bersama kedua puluh empat murid-muridnya. Hal ini terserat pada kalimat lontar, “engeta ing peling, ora kena den caturena iku, sake pamoalinya Indang Darma nipun.”


II         BABAD BAGELEN

Sedangkan menurut Babad Bagelen yang telah dialih aksarakan pada tanggal 7 Oktober 1940 (penulis anonim), naskah ini merupakan koleksi PERPUSNAS Jakarta, disebutkan bahwa leluhur Raden Wiralodra adalah masih dari garis trah Prabu Hayam Wuruk Majapahit,  yang kemudian mewariskan tahtanya kepada Prabu Bratanjung Brawijaya II. Dari salah satu garwa selir Prabu Hayam Wuruk menurunkan  dua orang putra, yaitu Raden Jaya Kusuma [Banyu Urip] dan adiknya yang bernama Nyimas Sandiyah. Selanjutnya Nyimas Sandiyah menikah dengan Ki Manguyu [Bagelen].
Dari perkawinannya itu melahirkan seorang putri yang diberi nama Ni (Nyai) Pangran, ia kemudian menikah dengan seseorang  dari (desa) Wunut. Ni Pangran mempunyai anak kembar perempuan dan adiknya laki-laki (nama tidak disebutkan). Selanjutnya anak Ni Pangran itu kemudian menurunkan dua orang putra (cucu Nyi Pangran) yang diberi nama Bagus Taka dan Bagus Singa. Setelah dewasa mereka berdua bekerja kepada Kyai Adipati Singaranu Kyana Patih Mataram.
Atas jasanya setelah dapat menundukan banteng peliharaan Sultan Agung yang sedang mengamuk, kemudian kedua pemuda itu dianugrahi derajat menjadi Mantri Domas dengan diganjar cacah Domas (kademangan, Desa). Bagus Taka dianugrahi gelar Mantri Prawiralodra [Wiralodra], dan adiknya Mantri Singapati. Setelah mendapatkan ganjaran kedudukan itu kemudian mereka pulang ke Bagelen, dan bermalam di Desa Ngandong.
Setelah itu kedua mantri tersebut mendapatkan tugas untuk ikut menyerbu Kompeni ke Batavia bersama Panembahan Purbaya dengan melewati jalan lautan, sedangkan Pangeran Mandurareja melewati jalan darat. Namun misi penyerbuan ini menemui kegagalan sehingga pasukan ditarik mundur, dan Pangeran Mandurareja mendapat hukuman mati di Kaliwungu dengan tidak diketahui sebab-sebab ataupun alasannya secara jelas. Sementara itu Raden Wiralodra tidak ikut pulang bersama adiknya, dengan berbekal keris pusaka Ki Bangkelung, dan Si Kerok Batok ia akan mencoba berkelana [berdagang] di Batavia. Setelah berbagi bekal pusaka dengan kakaknya kemudian  Singapati [mendapatkan bagian keris pusaka Si Tracak dan Kangjeng Kyai Panubiru] pulang kembali bersama Panembahan Purbaya untuk mengabdi kepada Sultan Agung, akhirnya iapun menjadi tersohor.
Dari cerita Babad Dermayu dan Babad Bagelen, terjadi miskomunikasi rentang waktu mengenai kehidupan sang tokoh. Babad Dermayu menyebutkan bahwa Raden Wiralodra hidup pada jaman bahkan sempat berguru kepada Sunan Gunung Jati Cirebon, sementara itu Manuskrip Kulit Menjangan juga mencatat bahwa pengesahan kedudukan Raden Wiralodra di Negara Dermayu bergelar Prabu Indrawijaya itu dinobatkan oleh Prabu Cakraningrat Galuh.
Sedangkan Babad Bagelen jelas mencatat bahwa Raden Wiralodra itu hidup pada masa Sultan Agung Mataram. Demikianlah sebuah Babad yang terkadang berbenturan antara satu dengan versi lainnya, tetapi menurut saya ini saling menguatkan bahwa Raden Wiralodra bukanlah tokoh legenda ataupun fiktip, kenyataanya menang ada. Hal ini dapat dibuktikan dari penyebuatan dari beberapa sumber Babad yang berbeda.

III.          KALI CIMANUK DARI MASA KE MASA

Kali Cimanuk dikenal semenjak Jaman Kerajaan Tarumanegara Abad IV, hal ini disebutkan dalam Naskah Pangeran Wangsakerta “Pustaka Pararatwan I Bumi Jawa Dwipa, Sargah Pertama” menyebutkan ; // masa telungatus telung puluh lima / ikang sakakala yata / angwagusi lawan amateguh atut tira ning sarasah nadi / (Hlm 122) athawa manukrawa nadi 
ngaranya wanéh //

Terjemah bebas ; Pada tahun 335 Sakakala adalah memperbaiki dan memperkuat disepanjang pinggiran kali Sarasah atau nama lainnya Kali Manuk Rawa. Sejaman dengan Kerajaan Tarumanegara, di Indramayu telah ada Kerajaan Manuk Rawa yang diperintah oleh Prabu Welut Braja. Namun kami masih belum menemukan sumber-sumber [naskah] tertulis mengenai kerajaan tersebut.

// Ring samangkana sang maharaja sedeng ira gering / matangyan sang purnawarman motus ring sang mahamentri lawan pirang siki rajya matya /  sang sénapati sarwwajala / sang tanda,  sang juru, sang adhyaksa lawan sangkep somering nira / tekan mahawan prahwa geng / mapan sira mangawaki sang maharaja magaway / angaskara mwang kapwa jti //

Terjemah bebas ; tatkala itu Sang Maharaja sedang sakit, kemudian Sang Purnawarman mengutus Maha Menteri dengan disertai orang-orang dari bebrapa nagara,  Sang Senapati sarwwajala [laut?], Sang Tanda,  Sang Juru, Sang Adiyaksa [Inspektur, Pengawas] bersama dengan para pengirinya. Rombongan pergi dengan menunggang perahu besar [kapal], mereka atas nama Sang Maharaja membuat Mercu Suar secara bersama-sama.

Kerajaan Tarumanegara memperkokoh Kali Sarasah [Sekarang disebuat Cimanuk] bertujuan untuk memperluas wilayah salah satunya menaklukan Raja Wiryabanyu dari Kerajaan Indraprahasta [terletak wilayah Cirebon]. Kala itu Pasukan Indraprahasta dipimpin oleh Senapati Ragabelawa, sedang Senapati Pedati bernama Bonggol Bumi seorang tetua dari Desa Sindang Jero [mungkin sekarang namanya menjadi Sindang Dalem]. Dalam pertempuran itu dimenangkan oleh Indraprahasta, sehingga Raja Wiryabanyu banyak memperoleh harta rampasan perang yang membuat bertambah makmurnya negara.

Sedang Naskah Keprabonan menyebutkan bahwa Raden Permanah Rasa sebelum naik tahta pernah terjadi perselisihan dengan putra raja dari lain garwa, sehingga menyebabkan ia terusir keluar dari keraton. Dalam masa pengembaraannya ia menelusuri Kali Cimanuk dan sempat tinggal satu kapal dengan pedagang dari Palembang yang hilir mudik melewati Kali Cimanuk untuk melakukan transaksi perdagangan bertemu dengan para pedagang dari daerah atau negara lain. Karena Juragan Palembang selalu mendapatkan tekanan, akhirnya Raden Pemanah Rasa pergi ke Sindang Kasih. Selanjutnya ia menikah dengan Nyi Ambet Kasih putri dari Ki Gedheng Sindang Kasih tersebut. Setelah mendapat kekuatan dari sana ia dapat menduduki tahta Pakuan Pajajaran dengan gelar Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.

Peristiwa tersebut memberikan gambaran bahwa Kali Cimanuk mempunyai posisi penting pada masa Raden Permanah Rasa sebelum naik tahta yaitu sekitar tahun 1400 M. Peristiwa sejarah ini diperkuat dengan bukti situs di daerah Pegaden Pekandangan yang diyakini oleh masyarakat sekitar ada situs petilasan Prabu Siliwangi yang terletak di bantaran Kali Cimanuk.

Sedangkan Nang Sadewo dalam bukunya “SUDUT, JEJAK INDRAMAJOE TEMPOE DOELOE” juga merekan jejak seorang Portugis bernama Tom Pieres yang pernah singgah di pelabuhan Cimanuk, ia mencatat tentang adanya pelabuhan di Cimanuk. Dalam buku tersebut juga banyak disajikan foto-foto masa lalu, termasuk Gedung BOMZAKEN yang dibangun pada Abad 18, semacam kantor izin berlayar yang terletak di sebelah Kantor Pos sekarang.


IV.          LURUHNYA WANGSA WIRALODRA

Menurut Babad Dermayu, setelah Raden Wiralodra berhasil membangun Pedukuhan Cimanuk yang semakin hari terus maju pesat maka pada suatu hari diproklamirkanlah nama sebuah negara sesaui pesan Nyi Endang Darma yang telah bersama-sama turut meramaikan pedukuhan tersebut. Berikut penggalan Pupuh Dangdang Gula ;
Radyan nulya angdika arum                    Raden kemudian berkata
Eh sanak kadang sadaya                            Hei sanak saudara semua
Kang aneng sami ing ngriki                    Yang berada di sini
Mugya den saksenana                                                Semoga turut menyaksikan

Enggene sami mangun negari                               Tatkala membangun negara
Mapan sampun dados Negara                              Sekarang sudah terwujud
Kelawan karya hyang manon                 Dengan izin Hyang Manon [Allah]
Negara dados sampun                                                Negara sudah berdiri
Sarta sira sami nyakseni                            Maka kamu sekalian turun menyaksikan
Pan ingsun aweh jenengan                     Aku akan memberikan nama
Negara darmayu iku                                     Negara DARMAYU
Umatur sadaya tiyang                                 semua orang menhatur
Anakseni ingkang negari                          menyaksikan nama negara
Kawula suka sedaya                                     Hamba semua merasa suka

Nama Darmayu merupakan kenangan Raden Wiralodra terhadap Nyi Endang Darma yang berparas cantik jelita [Ayu] dan sangat dicintainya. Kemudian ia mengangkat dirinya menjadi Tumenggung [pertama] yang tinggal di Wisma Katemenggungan untuk mengatur kepemerintahannya. Setelah wafat maka berturut-turut digantikan oleh keturunannya yang masih menggunakan gelar Wiralodra, Raden Wirapati [Wiralodra II] --- Raden Sawerdi [Wiralodra III]. Sepeninggalnya Raden Sawerdi maka terjadilah perebutan kedudukan Dalem Dermayu oleh kedua putranya yaitu Raden Benggala dan Benggali. Keadaan menjadi bersitegang hingga jabatan Dalem menjadi lowong beberapa bulan, maka datanglah keputusan dari Batavia untuk turut menyelesaikan persoalan.

Berdasarkan keputusan Kompeni, maka untuk melerai pertikaian kedua belah pihak maka kedudukan Dalem diberikan tenggang waktu masing-masing selama tiga tahun secara bergiliran. Maka terlebih dahulu Raden Benggala tetap menduduki Dalem Dermayu dengan gelar Wiralodra IV, sementarana Raden Benggali dalam masa tunggu bersama keluarganya dibawa ke Batavia. Disanalah pihak Belanda menjejali pandangan hidup/moral gaya barat yang menjauhi dari nilai-nilai leluhur Jawa. Sehingga setelah meggantikan kedudukan kakaknya menjadi Dalem Darmayu dengan gelar Dalem Singalodra. Nampak prilakuknya sewenang-wenang, ia senang pesta pora yang berlebihan menghambur harta. Sehingga kepemerintahan mulai tidak teratur, hal ini mewariskan situasi negara Darmayu yang kurang baik kepada penerusnya. Itulah sebenarnya yang diinginkan oleh Belanda, agar Darmayu mudah dikendalikan karna dilanda krisis.

Tatkala pada masa Dalem Semangun, karena keadaan masyarakat yang semakin sengsara oleh prilaku penjajah yang banyak bersekongkol dengan pribumi kaum ningrat. Maka timbulah pemberontakan Ki Bagus Rangin dan kawan-kawan yang sangat heroik dan terkenal itu. Trah Wiralodra terkena imbasnya, kedudukannya sebagai Dalem hanya sebagai boneka saja. Pada waktu itu sama halnya dengan keadaan di Kesultanan/Kerajaan di tempat lain, Belanda sangat berkuasa bahkan ada Sultan yang digajih [Sejarah Cirebon, Naskah Keraton Kacirebonan].


V.             RAMALAN DAN HARAPAN

Kekacauan dan kesengsaraan yang menimpa negara Darmayu itu sebenarnya sudah ditelaah sejak awal oleh leluhur, dalam Manuskrip Menjangan Raden Wiralodra menyampaikan pesan ;

1.       // duka awak mami bénjang turun pitu / dumugi para kadang nira padha / tréntya tana sepah udrasi / wis lami sédané iki / patang rah tana luput luruh / lan sebapa ira wigar / saking kurang temen néki / ira mangtata iku dén awaspa / bélaha la tana //
2.       // priyagung kang pogta / kata kawula sasara / sap awor ping désan pasulayan / rowang lawan prajurit / karanten akéh kang mati / akéh angin sindung riwut / kilat tatit liliweran / tetanduran rusak sami / pra bupati saandhapé pada susah //
3.      // susah pari susah beras / kebo sapi akéh mati / bénjang mraja padésan sami / nanging banjur buh ana / karohmatan kang linuhung / darma ayu harja tana sawiji-wiji / pertélakna yén ana taksaka nyabrang //
4.        // kali cimanuk pernah / ana sumur kajayan dres mili / dlupak murub tanpa patra / sedaya pan mukti malih / somahan lawan prajurit / pong[ga]wa kalawan pra agung / samiya tentrem atinya / bo[k] menawa harja tumuli / iku sakéhing negara pada raharja //

Terjemah bebas ;
1.       Entahlah pada keturunanku yang ketujuh, demikian juga dengan sanak keturunan saudara-saudara. Para sesepuh sudah lama meninggalkan mereka. Pada generarsi ke empat tanah [negara] meluruh. Disebabkan karena kurang benar-benar tekun [dalam mengolah negara]. Maka kamu sekalian bersiap-siaplah serta waspada, belalah tanah negara.
2.       Para pembesar di kota, banyak kawula pada sengsara. Hingga merambah ke pedesaan pada pasulayan [susah putus asa, saling berkhianat]. Bersama dengan prajurit karena banyak yang gugur. Banyak angin ribut [bencana, kerusuhan], kilat suara petir berseliweran [kerusuhan, perang dengan bedil meriam. Senjata yang memercikan bunga api dengan suara yang menggelegar]. Para bupati dan bawahannya pada kesusahan.
3.      Susah beras padi, kerbau sapi banyak yang mati. Kelak peristiwa ini merambah sampai ke desa-desa. Tetapi kemudian ada rahmat yang linuhung [agung, mulia] Darma Ayu kembali makmur merata. Perhatikanlah jika ada ular [naga] menyebrang
5.      Kali Cimanuk, ada sumur kejayan deras mengalir, lampu menyala tanpa minyak. Semua akan kembali makmur, somahan [suami-istri, keluarga] dan prajurit, ponggawa dan para pembesar. Mereka akan merasa tentram hatinya, barangkali saja [kelak] akan kembali selamat makmur,  banyak negara pada raharja [makmur aman sentosa].

Sekiranya dapatlah kita garis bawahi dan menyimak pesan leluhur, bahwa negara Darmayu [Indramayu] akan menjadi adil makmur merata  jika ada ;
  
a.        Ular [naga] menyebrang Kali Cimanuk
Tekad dan kemauan kita yang keras untuk menyebrangi rintangan sehingga sampai pada tujuan. Kali Cimanuk adalah sebagai gambaran kehidupan yang penuh rintangan [angker, banyak binatang buas, aliran air yang deras dan dalam]

b.        Ada sumur kejayan deras mengalir
Sumber mata air [sdm manusia] yang terus mengalir deras berunculan, sebab untuk mengolah dan memajukan negara itu diperlukan ilmu pengetahuan yang mumpuni pada bidangnya masing-masing.

c.         Lampu menyala tanpa minyak
Adalah nyala qalbu yang terang disinari oleh cahya ilahiah, leluhur berharap agar para pemimpun Darmayu adalah orang-orang yang dekat dengan tuhan secara nyata. Sehingga ia mampu mengejawantahkan sikap kebijakan yang mulia, maka insyaallah orang tersebut dapat memujudkan “mulih harja anana sawiji-wiji.”


VI.          SENI TRADISI

Warisan seni tradisi Indramayu sangat kaya dan beragam, jika dikembangkan secara serius maka bisa saja mendorong perubahan perekonomian ke arah yang lebih maju. Sementara itu dalam buku SUDUT Jejak Indramajoe Tempoe Doeloe Nang Sadewo merekan jejak perkembangan dari masa kemasa. Dokumentasi foto-foto masa silam seakan-akan menceritakan keadaan masa itu. Campur tangan Belanda, seni tradisi, ngarot, model busana,  kebaya lancaran, kesenian bantengan, berokan, terbang, jaran lumping, wayang dan lain lain. Buku ini seakan memberitahukan kepada generasi muda untuk lebih mengenal secara lebih dekat tentang perkembangan Indramayu dari masa ke masa, sehingga kitapun akan mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan realistis.

Supali Kasim dkk dalam “Sastra Lokal dan Warna Lokal Cerbon-Dermayu” juga menggambarkan ; sastra lisan, syair tembang [macapat, klasik, modern], crita guyon, crita cindek, puisi, dan sastra warna lokal. Dan juga dalam Suluk dan Jawokan Ekspresi Sastra dan Mistik Masarakat Cerbon-Dermayu, telah mengungkap fakta tentang kebiasan masyarakat yang terkait dengan keyakinan dan spiritual mereka.

Ketiga buku itu merekan jejak masa lalu dan kekinian serta menggambarkan secara utuh tentang keberadaan masyarakat Indramayu, seyogyanya kita terus bisa melestarikan warisan budaya adiluhung tersebut agar kita tetap tegas ajeg dalam jati diri Wong Dermayu.
 



Daftar Pustaka
1.       Babad Dermayu Naskah Kertasmaya
2.       Babad Dermayu Naskah Tambi
3.      Babad Dermayu Naskah Pamayahan
4.      Lontar Babad Darma Ayu Nagari
5.      Manuskrip Kulit Menjangan
6.      Babad Bagelen, Perpusnas Jakarta
7.      Naskah Tangkil Carub Kanda Baba Cirebon
8.      Naskah Keraton Kacirebonan Sejarah Cirebon
9.      Naskah Keraton Keprabonan Silsilah Cirebon
10.   Naskah Pangeran Wangsakerta
11.    Sudut Jejak Indramajoe Tempoe Doeloe, Nang Sadewo
12.    Suluk dan Jawokan Ekspresi Sastra dan Mistik Masyarakat Cerbon Dermayu, Supali Kasim dkk
13.   Sastra Lokal dan Warna Lokal Cerbon – Dermayu, Supali Kasim dkk

14.   Kamus Jawa Kuna Indonesia, P.J. Zoetmulder – S.O. Robson

Kedokan Gabus

MENYINGKAP HISTORIS DESA KEDOKAN GABUS
Oleh : Ki Tarka Sutarahardja
SANGGAR AKSARA JAWA CIKEDUNG


Ditilik dari suku kata nama Desa Kedokan Gabus, terdiri dari kata Kedokan dan Gabus. KEDOKAN adalah tempat genangan air atau kubang dan GABUS  sebutan nama ikan [Deleg] atau menurut Kamus Tembung Kawi yang berarti Gabeng [kosong]. Sudah menjadi kelumrahan pada jaman dahulu leluhur memberikan nama desa itu disesuikan dengan kejadian ataupun nama sesuatu ditempat itu. Misal Cikedung berasal dari Cai – Kedung, Karang Asem, berasal dari Pohon Asem, Jati Munggul dari Pohon Jati yang munggul [paling tinggi] dan seterusnya. Maka jika ditinjau dari pendekatan makna bahasa bisa jadi diwilayah Gabus ini jaman dahulu terdapat suatu tempat kubangan yang terkenal dengan ikan gabusnya.

Namun tidaklah semudah membalikan telapak tangan untuk mengetahui histois sebuah nama desa, karena memang belum atau tidak diketemukannya catatan-catatan dalam naskah kuno [manuskrip] yang menuliskan hal-hal terkait dengan desa yang bersangkutan. Bagaimana cara mengetahui leluhur pendiri Desa Kedokan Gabus? Mungkin sudah ada saudara-saudara kita yang lebih dahulu melakukan penelitian ataupun riset untuk hal ini, namun tanpa mengurangi rasa hormat kami maka perkenankanlah saya menyampaikan pendapat-pendapat ataupun saran untuk turut ikut menguak tabir sehubungan dengan kurangnya data yang ada. Sepertinya kita harus melakukan penelusuran panjang yang tidak boleh mengenal lelah, setidaknya kita bisa memulai dengan kegiatan-kegiatan seperti ;

1.              Telusur situs keramat

Situs keramat merupakan tempat yang mendapat penghormatan tersendiri dihati masyarakat, biasanya tempat ini sering dijadikan sarana ritual secara pribadi atau berkelompok. Ada orang yang suka menyepi mendekatkan diri kepada Allah guna mencapai tujuan tertentu atau digunakan secara bersama-sama oleh warga desa dalam melaksanakan acara adat munjungan. Acara munjungan merupakan acara ritual penghormatan kepada leluhur desa. Masyarakat melakukan syukuran tumpengan, sesepuh biasanya memimpin acara ala jawa yang dipungkasi dengan doa agamis.

Menurut saya situs keramat yang tertua itu bisa dijadikan tengarah merupakan petilasan leluhur pendiri desa, menurut informasi team SAJA Kang Rawin Rancahan, diwilayah Kecamatan Gabus ada beberapa situs kabuyutan diantaranya ; Buyut Gebang, Buyut Asem Jajar, Buyut Sawo dll. Permasalahannya kenapa tidak menyebutkan nama jatidiri pelaku, sudah menjadi maklum jaman dahulu banyak orang yang menyamar untuk menghindari bahaya. Banyak para pejuang kuno yang mengganti namanya agar selamat dari incaran Belanda. Buyut Gebang di Kec. Gabus ini apakah ada hubungannya dengan Ds. Gebang Mangpang Kec. Bongas? Suku kata mampang menurut kamus tembung jawi berarti “methu” atau medal, ngaton. Maka yang dimaksud adalah nampak atau terlihatnya gebang yang berupa pohon atau gebang merujuk pada seorang tokoh.

Letak Desa Gebang Mangpang Bongas dan Buyut Gebang Gabus tidak terlalu jauh hanya berjarak puluhan KM saja, ini bisa diduga bahwa seorang tokoh tersebut berpindah tempat untuk keamanan pribadi atau melakukan perluasan wilayah lahan babad. Di wilayah Cikedung Terisi ada nama desa yang nama awalnya dari nama tumbuhan, yaitu ; Lung Gadung, Lung Semut, Lung Koneng. Konon menurut sesepuh, desa itu didirikan oleh satu orang yang menyenangi pepucukan.

2.              Mencari benda-benda peninggalah bernilai sejarah

Benda-benda kuno kiranya bisa dijadikan petunjuk masa peradaban kehidupan leluhur kita, benda tersebut bisa saja berupa ; pusaka, bangunan, peralatan pertanian, dan lain-lain. Ditahun 2016 ketika mengadakan acara bedah budaya di MTS Manggunan, saya telah diberitahu pihak pengurus MTS bahwa di wilayah Gabus masih ditemukan BALE-BALE yang diduga peninggalan Ki Bagus Rangin. Yang menarik perhatian saya adalah ketika kita memperbandingkan ucapan kata Gabus dan Bagus yang hampir sama kedengarannya. Nah apakah ini patut diduga sebuah plesetan nama untuk penyamaran dalam misi perjuangan kala itu?

Dalam penuturan Ki Wirya Kuwu Cikedung ke-13 [1964 – 1965] bahwa dalam perjuangannya Ki Bagus Rangin pernah singgah di Cikedung. Ki Bagus dikejar pasukan gabungan antara Dermayu, Cirebon yang dipimpin Raden Kartawijaya dan Welanda kala itu [menurut Babad Dermayu]. Mengapa Ki Bagus diterima dengan baik di Cikedung, karena leluhur orang-orang Cikedung berasal dari wilayah yang sama dengan Ki Bagus Rangin ialah Sumber – Majalengka. Selepas dari Cikedung pasukan Ki Bagus bergerak ke Barat, dan sangat dimungkinkan singgah ke Gabus, hal ini bisa ditandai dengan masih adanya Bale-bale tersebut.

Dari cerita diatas menurut saya kiranya bisa ditarik benang merah, bahwa kata GABUS berkaitan erat dengan Ki Bagus yang dimaksud.  Dari  petunjuk Kutipan Silsilah Jatitujuh yang dikeluarkan oleh Wargi Jati Cirebon tertanggal 24 Oktober 1983 dan dikutip ulang oleh Raden Nurudin Atmadjakusuma Karangsinom salah satu lembarnya menyebutkan silsilah ; Ki Gedeng Pasir / Paseh ---- Ki Bagus Waridah ---- Ki Bagus Rali ---- Ki Bagus Rasmini [Kedokan Gabus] ---- Ki Bagus Magrim [Cipancuh] dan seterusnya.
Nama Ki Bagus Magrim diabadikan menjadi sebuah nama desa yang terletak sebelum Manggungan, ada sebuah desa terpencil bernama Magrim. Demikian juga dengan masyarakat Desa Jatimunggul begitu mengenal sosok cerita Ki Rali dan Ki Magrim, yang berkaitan erat dengan Situs Pohon Jati Sungsang di sana.
Sekelumit silsilah diatas merupakan bukti penguat bahwa di Kedokan Gabus terdapat keturunan ataupun generasi KEBAGUSAN. Para keturunan Kebagusan banyak menyebar di Indramayu terutama Bagian Barat seperti ; Larangan, Lelea, Cikedung, Terisi, Karangsom, Tipar, Bongas, Anjatan, Sukra, dan lain-lain.
3.             Menelusur Naskah Kuno / Manuskrip

Naskah kuno banyak merekam jejak peradaban masa lalu, oleh itu keberadannya menjadi sangat penting. Naskah-naskah Kuno Nusantara sangat banyak disimpan di negara-negara luar, Belanda, Ingris, dan lain-lain. Keberadaanya sangat dipelihara dengan menghabiskan tidak sedikit anggaran negara. Negar begitu sangat menghargai naskah-naskah kuno, sementara di negeri sendiri keberadannya banyak yang sangat terlantar. Berdasarkan penelusuran Team SAJA sejak 1995 sampai sekarang naskah-naskah Indramayu banyak mengalami kerusakan karena memang disebabkan oleh faktor sdm itu sendiri. Masyarakat masih banyak menganggap jimat ketimbang mempelajari isinya, ada juga sebagian masyarakat yang ikut menguburkan naskah bersama mayit pemiliknya. Ada juga yang membuang pada suatu tempat tertentu, membakar dan lain-lain.

Dari kejadian-kejadian inilah sehingga kita semakin kehilangan sumber-sumber cerita peradaban masa lalu. Hal yang sepele mungkin anak cucu kita sudah tidak mengenalinya lagi nama-nama ; panjang, gledeg, lesung, alu, lenjing, gedhengan, wit betah, gorda putih, kampuh, lenggora, kilat thatit, dringo benggle dan lain-lain. Kata-kata itu sering diucapkan dalam naskah-naskah kuno yang menghubungkan dengan aktivitas kehidupan budaya leluhur.

Sebaimana ditahun 2016 Team Kebuyutan Cirebon yang diketuai Buyut Mas Nang telah menemukan Lontar Buyut Guesan Ulun Legok Lohbener yang terletaak di bantaran sungai Cimanuk. Setelah dibabar ternyata menceritakan keadaan Desa / Kuwu Suramerta Legok Kolot, yang menarik untuk dikaji adalah bahwa pada jaman itu sudah ada penerapan syai’at islam di sana. Masyaraakat membayarkan zakat hasil panen dengan jumlah Sangga, Gedhengan.

Sementara itu terkait dengan pernaskahan di Kecamatan Gabus, SAJA baru menemukan petunjuk berupa 2 Naskah yang menceritakan Babad Cirebon, Wawacan Nabi Muhamad, Brawijaya keduanya ditulis menggunakan aksara pegon [arab berbahasa Cirebon] hal ini menunjukan bahwa sejak dahulu diwilayah Gabus masyarakat [beberapa tokoh ulama] pandai dalam menulis membaca aksara arab yang berhubungan langsung dengan syari’at agama.

Diwilayah Kamplong ditemukan Jubah Ki Leja, menurut penuturan pemilik Ki Leja berasal dari Wetan dan sejaman dengan Ki Bagus Rangin [sangat dimungkinkan Ki Bagus Leja, teman seperjuangan Ki Bagus Rangin]. Masyarakat masih banyak yang mendudukan Jubah itu sebagai jimat, sepertinya belum ada pihak yang ingin mengaji jubah batik itu dari jenis kain, motif dan asal batik, warna dan lain-lain sehingga memunculkan informasi yang lebih akurat.

Dalam Babad Dermayu menyebutkan bahwa Ki Bagus Citra senang nawu iwak, dari hasil tawu-nya itu kemudian dimasak untuk makan bersama. Demikian juga Ki Bagus Raangin yang senang dengan berburu kidang menjangan. Nah penamaan Gabus itu apakah terkait dengan tokoh Ki Bagus Citra yang senang nawu / menangkap ikan di rawa-rawa [kedokan], sehingga memperoleh banyak ikan Gabus. Namun kiranya perlu kita renungkan bahwa julukan ikan Gabus itu dikenal sejak kapan? Sebab wong Dermayu lebih familier menyebutkan IWAK DELEG.
  

Sejarah Desa Kekinian

Dari penelusuran Google didapatkan keterangan bahwa Desa Kedokangabus menjadi sebuah Desa diperkirakan pada tahun 1882, hal ini berdasarkan sumber dari cerita para tokoh tua yang masih mewariskan ceritanya kepada anak cucu dan tidak berdasarkan catatan tertulis sebagai referensi.
Pada zaman penjajahan Belanda, luas wilayah Desa Kedokangabus sangat luas yakni mencakup wilayah Desa Sumbon Kecamatan Kroya, yang kemudian pada tahhun 1982 di mekar menjadi 2 Desa yaitu Desa Kedokangabus dan Desa Sumbon yang masuk wilayah Kecamatan Kroya.
Adapun masyarakat yang pernah menduduki jabatan Kuwu di Desa Kedokangabus dengan masa jabatan rata-rata 8 (delapan) tahun adalah sebagai berikut:
Tabel Kuwu