Sunday, December 9, 2018

Situs Mundu Cirebon

1.                  

Sewaktu nikah dahulu Sunan Kalijaga juga menikahkannya dengan maskawin “mati syahid” Suatu hari pangeran bermaksud hendak berkunjung ke Rama Kanjeng Susuhunan Jati dengan menunggang kapal, tetapi sang istri Ratu Nyawa melarangnya agar jangan melewati lautan.
2.                   Disarankan agar pergi melalui jalan darat saja, jika berlayar dikhawatirkan bertemu dengan bajak laut. Pangeran Bratakelana berkata, “wahai istriku, janganlah merasa khawatir atas kehendak Hyang Agung” kemudian pangeran berangkat bersama dengan kedua panakawan yang bernama Binti dan Banta.
3.                  Kapal sudah bergerak melaju ke tengah samudra, tiba-tiba bertemu dengan sekelompok para bajak laut yang mengepung dari arah kanan kiri. Mereka menyerang mengeroyok, namun pangeran tidak mau mundur maka terjadilah peperangan. Sementara itu Banta-Binti segera meloloskan diri dengan menceburkan diri ke lautan,
4.                  Ia memanggil-manggil dari kejauhan agar pangeran segera meloloskan diri menyusulnya sebab bukanlah tandingan menghadapi para bajak laut yang berjumlah banyak. Pangeran Brata Kelana berkata, “hei panakawan
5.                  ketahuilah olehmu, inilah jalanku menuju surga aku akan dijemput oleh bidadari sebanyak sakethi” kemudian seorang bajak laut menyerang, pangeran cekatan menyikutnya hingga ia jatuh pingsan kecebur di laut. Maka teman-teman mereka segera menyerang [hlm. 301]
6.                  ditepak dadanya terjatuh, namun ada yang menyerang dengan menghujamkan keris. Keris ditepak ujungnya patah bahkan posisinya membalik ke pelipis si bajak laut, terus menembus kepalanya hingga kempolo si bajak muncrat keluar.  Ada yang mencoba membedil namun senjatanya mendadak macet, sehingga ia menyerang dengan memukulkan bedil itu.
7.                  Pangeran cepat berkelit, sambil menjejak selangkangan maka si bajakpun jatuh tersungkur. Kepala bajak laut segera bertandang menolong anak buahnya, dengan menaburkan jaring setelah terperangkap, kepala bajak menyuruh agar pangeran jangan langsung dibunuh, supaya dikeroyok saja dahulu.
8.                  Maka empat orang dari mereka segera maju menyerang dengan tambang, namun pangeran selalu dapat meloloskan diri. Jika sudah tertangkap langsung diikat, namun kaki pangeran bisa menyerang menendangi mereka hingga tak berdaya lagi. Kepala bajak laut segera menghunus pedang
9.                  yang suka dipergunakan untuk menyembelih anjing hitam. Kemudian bagian muka yang tajam itu dipedangkan ke arah pangeran, maka muka pedang yang terkena najis itu mendadak  terbalik hingga ganjanya copot. Maka secara aneh malah paksinya yang menancap pada
10.               dada pangeran hingga pecah, maka gugurlah ia mati syahid terombang-ambing terbawa ombak lautan. Hingga suatu ketika jasad pangeran terdampar di pantai Mundu, kemudian Banta-Binti memberitahukan kepada Ki Gedeng Sena Mundu.
11.                Ki Gedeng terkejut, ia berlarian hendak melihat jasad pangeran, setelah jelas kemudian [hlm. 302] penduduk Mundu segera diberitahu agar semua orang supaya menghaturkan keris. Dengan maksud hendak menghaturkan pesakitan sebab putra jeng sinuhun telah gugur di wilayahnya.
12.                Malahan orang-orang Mundu pada mengikat diri sendiri serta bagian yang tajam daripada keris itu dipersiapkan untuk bunuh diri. Tak lama kemudian Sunan Jati, Sunan Kali, dan Pangeram Makdum berdatangan ke tempat itu.
13.               Ki Gedeng Sena menghaturkan bela pati atas semua abdi-abdi, Sunan Jati telah memaafkan mereka kemudian berkata dengan suara perlahan, “jika saudara mau berdoa kepada Hyang Agung memohonkan agar putraku hidup lagi, pastilah putraku akan hidup. Tetapi ini semua sudah merupakan takdir dari Allah,
14.               syukur  jika putraku gugur dalam jalan syahid” kemudian jasad telah disucikan selanjutnya diletakan dalam keranda yang bagus, tidak langsung dikuburkan karena masih menunggu untuk  Sultan Demak yang sedang dijemput. Kemudian datanglah Sultan Demak bersama sang putri Ratu Nyawa.
15.               Begitu tiba sang sultan membisu tak dapat berkata-kata, sementara itu Ratu Nyawa menangis sedih sambil menyungkemi kaki Sunan Jati. Sambil terisak-isak menahan tangis berkata, “dahulu kenapa mengucapkan maskawin mati syahid, jika sudah begini bagaimana dengan nasib hamba?”
16.               Sunan Jati berkata, “bayi, suamimu tidak mati. Ia mau munggah ke alam mubasyirin” tak lama setelah disabda seperti itu pangeran hidup kembali lalu berkata, “Rayi Ratu, Kakangmu ini tidak mati hanyalah berganti negara saja” [hlm. 303]
17.               Sunan Jati menyambung sabda, “anakku lanjutkanlah perjalananmu munggah ke alam mubasyirin yang merupakan tempat dari orang-orang yang gugur dalam perang sabil” maka pangeran mendadak terkulai lemas mati lagi. Bersamaan itu terbukalah pintu surga, bebunyian di dalam sana sampai terdengar menawan.
Para walipun merasa tentram hatinya, kemudian Sultan Demak berkata kepada Pangeran Makdum, “Sunan Jati sedang mencoba karomahnya” kemudian jenazah pangeran dikebumikan di tanah Mundu dan disebut Pangeran Sedang Lautan.

Sunday, December 2, 2018

KI SIDUM INDRAMAYU


MENELUSUR JEJAK KI SIDUM
 Sanggar Aksara Jawa Kidang Pananjung Indramayu

Nama Ki Sidum sangat erat dengan masyarakat Indramayu ini bisa dihubungkan dengan nama situs di beberapa desa, menurut Babad Dermayu Raden Wiralodra dan Ki Tinggil tatkala mencari Kali Cimanuk sampailah di tepi sungai Citarum. Dalam keraguan mereka berdua beristirahat duduk-duduk di tepi sungai besar itu sambil mengambil buah-buahan hutan untuk dimakan. Ki Sidum merasa kasihan melihat kedua orang ini, dalam Pupuh Tembang Kinanti diceritakan ;
//o// wus lami lampah pukulun / saking bagelén negari / tigang tahun lampah hamba / ing pundi cimanuk kali / kula déréng antuk warta / mugi kaki anulungi //o// ki sedum wecana arum / sarwi menggap-menggap aris / dehem watuk awecana / duh ki putu welas mami / iku sira iya keliwat / kesasar lampah iréki //o// puniki kali citarum / karawang bagiyan néki / sampun kaliwat tebih / kedah wangsul malih kaki / amesisir lampah dika / ngalér ngétan lampah néki //o//
(Raden Wiralodra berkata), “Sudah lama perjalanan hamba dari Negara Bagelen, sudah tiga tahun hamba mencari Kali Cimanuk namun belum mendapatkan berita dimana letaknya. Semoga Kakek mau menolong hamba.” Ki Sidum menjawab santun dengan napas yang menggap-menggap sambil terbatuk-batuk, “Duh cucu, aku merasa kasihan. Perjalananmu ini tersesat, yang kamu cari sudah terlewat. Ini adalah Kali Citarum berada di wilayah bagian Karawang. Kamu sudah terlewat jauh, maka harus balik lagi dengan mengambil jalan melalui pesisir ke arah Utara terus ke Selatan.”
Siapakah sebenarnya Ki Sidum yang telah memberikan petunjuk tersebut? Setidaknya ada beberapa tempat situs petilasan Ki Sidum di wilayah Indramayu yang sudah sangat dikenal masyarakat diantaranya berada di ; Pasekan, Temiang Sari dan Majasari Sliyeg. Belum lagi ada situs-situs lain yang dikaitkan dengan nama beliau, ini menunjukan bahwa penokohan Ki Sidum mempunyai tempat tersendiri di hati masyarakat. Sementara itu dalam Lontar Babad Dharma Ayu Nagari menjelaskan identitas Ki Sidum ;
iku buyut sidum tiyang karihin
kidang pananjung kang asma
pejajaraan aslinéki
tumenggung sri baduga
kang katah jasa hiréki
Terjemah bebas ; Buyut Sidum itu orang dahulu, namanya Kidang Pananjung yang berasal dari Pajajaran. Tumenggung Sri Baduga yang banyak jasanya.


Dapatlah diduga bahwa wilayah Dermayu atau pesisir pantura pada jaman dahulu masih merupakan wilayah Pajajaran, hal ini dapat dilihat dari keterangan bahwa Kidang Pananjung atau Ki Sidum merupakan salah satu Tumenggung Sri Baduga Pajajaran. Sehingga ia mengetahui dengan jelas tentang letak posisi kali Cimanuk wilayah bawahan yang dicari oleh Raden Wiralodra dan Ki Tinggil untuk dibangun pedukuhan, serta juga dibuktikan dengan adanya titik-titik situs keramat yang berkaitan dengan dirinya. Hal ini menandakan bahwa Ki Sidum memang akrab dengan wilayah pantura duk kala jaman semana, sedangkan Dalam Babad Dermayu Naskah Losarang disebutkan bahwa letak posisi Hutan Kali Cimanuk yang hendak dibabad oleh mereka berdua adalah yang air kalinya berwarna kemerahan sebagai penanda berdekatan jaraknya dengan muara Cimanuk.

Beberapa Sebutan Kidang Pananjung pada Naskah Lainnya

1.              Naskah Majalengka

//o// kang satunggil putranné rangga pakuwan metu saking raja sédhangwangi hingaranna sangiyang kokor parennahhé hing panémbong / kang satunggil putranné perebu mundingkawatti / hapuputra kidhang pannajung / kidhang pannajung hapuputra ratu widha / ratu widha hapuputra parrebu wesi perrenahhé hing raja polah //o// kang satunggil putranné hing ngarranna sangiyang madha warrak kang metu saking tompo / kang satunggil putranné hing ngaranna radhén kalipah / kang satunggil putranné hing ngaranna radhén sinom / radhén [hlm. 25] sinnom hiku perrenahhé hing suci //o//

Terjemahan bebas ; keturunan Ratu Sunda yang lain bernama Rangga Pakuan lahir dari Raja Sedawangi. Rangga Pakuan disebut juga Sangiyang Kokor bertempat di Panembong. Putra Ratu Sunda yang lain bernama Prabu Mundingkawati, menurunkan putra bernama Kidang Pananjung kemudian menurunkan putra bernama Ratu Wida, kemudian menurunkan putra bernama Prabu Wesi bertempat di Raja Polah. Putra Ratu Sunda yang lain bernama Sangiyang Mada Warak lahir dari Tompo,  putra yang lainnya bernama Raden Kalipah, putra yang lainnya Raden Sinom bertempat tinggal di Suci.

BAGAN SILSILAH
 













//o// mangka bedhil hiku dhihedhum-hedhum si gutur geni perennahhé hing mataram / si santommi parrenahhé hing carebon / si hamuk parrenahhé hing banten / mangka putra siliwangi metu sakking padhanna watti hing ngarranna [hlm. 34] rangga mantri //o// rangga mantri hapuputra ratu sélawatti / sélawatti hapuputra sang ngadhipatti parrennahhé hing kuningan / sang ngadhipatti hapuputra ratu sédhalarang / sédhalarang hapuputra perebu caradhéwa / caradhéwa hapuputra ki dhipatti sangacala / dhipatti sangacala hapuputra kidhang panajung / kidhang panajung hapuputra kakalih / kang sepuh hing ngaranna beras harum parrenahhé hing pajalu / kang nganom parrenahhé hing rajapolah //o//

Dari alihaksara tersebut dapat dibuat Bagan Silsilah sebagai berikut ;

 




















2.             Babad Galuh

Terjemah bebas dari bagian Pupuh Asmarandana

Tatkala Prabu Mundingkawati bersama para wadyabalanya bersukacita melakukan perburuan kidang dan menjangan ditengah hutan maka rombongan masuk ke wilayah menjangan sentana, yang merupakan tempat tinggal daripada menjangan jejadian keturunan dari Prabu Linggaiyang. Tatkala itu Sang Prabu telah bersetubuh dengan menjangan (samaran?),  menjangan hamil dan kemudian menurunkan putra, adapun nama-namanya ; Manjangan Gumulung Sakti dan Manjangan Wulung Upas bertempat tinggal di Galunggung. Tanopen Kidang Ancaran dan Kidang Panawungan, yaitu yang merupakan keturunan Prabu Linggaiyang kang sasmata. Manjangan Gumulung Sakti adalah rama dari Manjangan Gumaringsing yang menjadi nata jua. Sang Kidang Panawungan ialah rama dari Sang Kidang Pananjung di Sunda.

Bagan Silsilah
 















Pada bagian Pupuh Durma, menceritakan

Ketika usianya mencapai 11 tahun, Siliganda (Siliwangi) sudah bisa merebut kembali puri yang telah dikuasi musuh. Setelah takluk Manjangan Gumaringsing akhirnya mengabdi dan diampuni kesalahannya, kemudian ia diberikan wilayah kekuasaan di Negara Galunggung. Selanjutnya      Jaka Siliganda menuju ke arah Barat, hingga sampailah di Parayangan. Syahdan Kidang Panawangsa (Panawungan) tatkala melihat bayangan seseorang yang berkelebat segera diburunya. Namun Siliganda segera menjemputnya,         disabet dengan anak panah hingga putuslah badan sang kidang gugur seketika. Kemudian putranya hendak belapati kepada sang rama, Kidang Panjing mengejar Sang Siliwangi. Segera ia melepaskan panah, mata panah melucur cepat menembus Kidang Pananjung hingga terjatuh. Namun ia berubah menjadi seseorang yang kemudian cepat menghaturkan sembah bakti kepada Siliwangi. Itulah asal-usulnya adanya Menak Prayangan, ialah kijang berubah menjadi manusia kembali.

Kala dahulu telah menduduki pura selama 11 tahun, sekarang mendadak kembali direbut oleh Jaka Siliwangi. Disitulah Kidang Pananjung, dimaafkan atas kesalahannya malahan diberikan wilayah kekuasaan tempatnya di Panawungan. Sudah kembali keraharjaan di bumi Pajajaran, Siliwangi yang kemudian digadang-gadang menjadi raja.


ANALISA TENTANG KI SIDUM

Ki Sidum disebut-sebut juga masih merupakan leluhur Sumber, Majalengka. Ada kepercayaan pada sebagian masyarakat Indramayu bahwa keluarga Sumber (orang tertentu) bisa dimintakan berkahnya untuk memohonkan kepada Allah Swt agar cepat dianugrahi akan turunya hujan tatkala dimusim kemarau panjang. Kosa kata “Sidum” sendiri identik dengan suasana di pegunungan yang terdapat lebih banyak curah hujannya ketimbang di wilayah pantura, wilayah dimaksud mungkin adalah daerah Pasundan atau Parahyangan. Kata “Sidum” bermakna ; mendung, situasi banyak mendung menjelang hujan, atau hujan terus-menerus walaupun berupa gerimis atau tidak turun hujan lebat. Sampai-sampai ada keyakinan di masyarakat bahwa ketika keturunan Ki Sidum melakukan hajatan walaupun hajatannya berada dimusim kemarau, seringkali turun hujan (wallahu’alam bisowab). Jika dikaitkan dengan sumber berita cerita beberapa naskah kuno yang berhasil dikumpulkan, Ki Sidum bisa disimpulkan seseorang dari wilayah kidul atau pegunungan.

Di Desa Ligung, Majalengka ada situs makam Ki Sidum yang terletak dibantaran Kali Cimanuk, Ki Bagus Ade Suwandi Cilandak, Anjatan Indramayu yang merupakan seorang cucu dari Patu (Tetua) Waluh Sumber. Menjelaskan bahwa dirinya termasuk salah satu generasi dari Ki Bagus Arsitem Sumber-Majalengka, ia masih memegang beberapa warisan Pusaka Sumber secara turun-temurun. Oleh itu keluarganya juga ikut menjadi penentu / menunjuk seseorang untuk dijadikan pengganti kuncen Situs Ki Sidum Ligung yang selanjutnya.

Siapakah Ki Sidum? Pada jaman Raden Wiralodra Babad Alas Kali Cimanuk disebutkan bahwa Ki Sidum nama aslinya adalah Kidang Pananjung dari Pajajaran. Sebagai bukti penguat tentang keberadaan tokoh tersebut nama Kidang Pananjung juga disebutkan dalam Naskah Majalengka, dan Babad Galuh. Kidang Pananjung merupakan keturunan Prabu Linggaiyang Pajajaran bahkan Siliwangi sendiri memberikan wilayah  kekuasaan kepadanya. Namun Rupanya nama Kidang Pananjung juga tidak saja ada pada jaman Pajajaran, namanya juga muncul pada keturunan daripada Adipati Kuningan yang merupakan trah keturunan dari Rangga Mantri atau Ki Pucuk Umun Telaga. Bisa saja Ki Sidum yang situsnya terletak di desa Ligung Majalengka itu merupakan keturunan dari Adipati Sangacala, karena memang antara Majalengka dan Kuningan jaraknya tidak begitu jauh.

Bagaimana dengan Ki Sidum Temiangsari?, wit penjalin dalam bahasa Sunda disebut dengan nama Temiang, sedangkan kata Sari sendiri mengandung makna ; pokok, sumber (intisari), atau bagus. Tidak jauh dari Desa Majasari yang mana terdapat situs petilasan Ki Sidum juga ada situs keramat Alas Penjalin, pohon penjalin atau temiang disana sampai sekarang juga masih tumbuh. Menurut cerita leluhur Cikedung “Penjalin Telaga” (dari salah satu situs karamat) juga sangat terkenal untuk digunakan sebagai jimat atau piyandel. Dengan demikian apakah memang wit penjalin ini sebagai penanda trah Telaga, sebagaimana leluhur daripada Kidang Pananjung yang berujung kepada Rangga Mantri / Pucuk Umun? Untuk mengungkap fakta ini tidaklah mudah namun setidaknya bisa dijadikan sebagai titik penerang untuk menarik hubungan tokoh Ki Sidum Temiangsari dengan para leluhurnya.

Ki Sidum memang suka berkelana, dalam Babad Dermayu disebutkan suka malihwarna berubah wujud menjadi seorang kakek petani, juga berpindah-pindah tempat dalam memandu Raden Wiralodra dan Ki Tinggil untuk menemukan letak Kali Cimanuk. Sebagaimana kebiasaan leluhur linuwih jaman dahulu selalu berpindah-pindah tempat untuk menanamkan jasab guna membuka lahan baru yang kelak dihuni oleh orang lain yang membutuhkannya.


Wallahu’alam bisowab