MENYINGKAP HISTORIS DESA
KEDOKAN GABUS
Oleh : Ki Tarka Sutarahardja
SANGGAR AKSARA JAWA CIKEDUNG
Ditilik dari suku
kata nama Desa Kedokan Gabus, terdiri dari kata Kedokan dan Gabus. KEDOKAN
adalah tempat genangan air atau kubang dan GABUS sebutan nama ikan [Deleg] atau menurut Kamus
Tembung Kawi yang berarti Gabeng [kosong]. Sudah menjadi kelumrahan pada jaman
dahulu leluhur memberikan nama desa itu disesuikan dengan kejadian ataupun nama
sesuatu ditempat itu. Misal Cikedung berasal dari Cai – Kedung, Karang Asem,
berasal dari Pohon Asem, Jati Munggul dari Pohon Jati yang munggul [paling
tinggi] dan seterusnya. Maka jika ditinjau dari pendekatan makna bahasa bisa
jadi diwilayah Gabus ini jaman dahulu terdapat suatu tempat kubangan yang
terkenal dengan ikan gabusnya.
Namun tidaklah
semudah membalikan telapak tangan untuk mengetahui histois sebuah nama desa,
karena memang belum atau tidak diketemukannya catatan-catatan dalam naskah kuno
[manuskrip] yang menuliskan hal-hal terkait dengan desa yang bersangkutan. Bagaimana
cara mengetahui leluhur pendiri Desa Kedokan Gabus? Mungkin sudah ada saudara-saudara
kita yang lebih dahulu melakukan penelitian ataupun riset untuk hal ini, namun tanpa
mengurangi rasa hormat kami maka perkenankanlah saya menyampaikan
pendapat-pendapat ataupun saran untuk turut ikut menguak tabir sehubungan
dengan kurangnya data yang ada. Sepertinya kita harus melakukan penelusuran
panjang yang tidak boleh mengenal lelah, setidaknya kita bisa memulai dengan kegiatan-kegiatan
seperti ;
1.
Telusur situs keramat
Situs keramat merupakan tempat yang mendapat penghormatan tersendiri dihati
masyarakat, biasanya tempat ini sering dijadikan sarana ritual secara pribadi atau
berkelompok. Ada orang yang suka menyepi mendekatkan diri kepada Allah guna mencapai
tujuan tertentu atau digunakan secara bersama-sama oleh warga desa dalam
melaksanakan acara adat munjungan. Acara munjungan merupakan acara ritual penghormatan
kepada leluhur desa. Masyarakat melakukan syukuran tumpengan, sesepuh biasanya
memimpin acara ala jawa yang dipungkasi dengan doa agamis.
Menurut saya situs keramat yang tertua itu bisa dijadikan tengarah
merupakan petilasan leluhur pendiri desa, menurut informasi team SAJA Kang
Rawin Rancahan, diwilayah Kecamatan Gabus ada beberapa situs kabuyutan diantaranya
; Buyut Gebang, Buyut Asem Jajar, Buyut Sawo dll. Permasalahannya kenapa tidak
menyebutkan nama jatidiri pelaku, sudah menjadi maklum jaman dahulu banyak
orang yang menyamar untuk menghindari bahaya. Banyak para pejuang kuno yang
mengganti namanya agar selamat dari incaran Belanda. Buyut Gebang di Kec. Gabus
ini apakah ada hubungannya dengan Ds. Gebang Mangpang Kec. Bongas? Suku kata
mampang menurut kamus tembung jawi berarti “methu” atau medal, ngaton. Maka
yang dimaksud adalah nampak atau terlihatnya gebang yang berupa pohon atau
gebang merujuk pada seorang tokoh.
Letak Desa Gebang Mangpang Bongas dan Buyut Gebang Gabus tidak terlalu
jauh hanya berjarak puluhan KM saja, ini bisa diduga bahwa seorang tokoh
tersebut berpindah tempat untuk keamanan pribadi atau melakukan perluasan
wilayah lahan babad. Di wilayah Cikedung Terisi ada nama desa yang nama awalnya
dari nama tumbuhan, yaitu ; Lung Gadung, Lung Semut, Lung Koneng. Konon menurut
sesepuh, desa itu didirikan oleh satu orang yang menyenangi pepucukan.
2.
Mencari benda-benda
peninggalah bernilai sejarah
Benda-benda kuno kiranya bisa dijadikan petunjuk masa peradaban kehidupan
leluhur kita, benda tersebut bisa saja berupa ; pusaka, bangunan, peralatan
pertanian, dan lain-lain. Ditahun 2016 ketika mengadakan acara bedah budaya di
MTS Manggunan, saya telah diberitahu pihak pengurus MTS bahwa di wilayah Gabus
masih ditemukan BALE-BALE yang diduga peninggalan Ki Bagus Rangin. Yang menarik
perhatian saya adalah ketika kita memperbandingkan ucapan kata Gabus dan Bagus yang
hampir sama kedengarannya. Nah apakah ini patut diduga sebuah plesetan nama
untuk penyamaran dalam misi perjuangan kala itu?
Dalam penuturan Ki Wirya Kuwu Cikedung ke-13 [1964 – 1965] bahwa dalam
perjuangannya Ki Bagus Rangin pernah singgah di Cikedung. Ki Bagus dikejar
pasukan gabungan antara Dermayu, Cirebon yang dipimpin Raden Kartawijaya dan
Welanda kala itu [menurut Babad Dermayu]. Mengapa Ki Bagus diterima dengan baik
di Cikedung, karena leluhur orang-orang Cikedung berasal dari wilayah yang sama
dengan Ki Bagus Rangin ialah Sumber – Majalengka. Selepas dari Cikedung pasukan
Ki Bagus bergerak ke Barat, dan sangat dimungkinkan singgah ke Gabus, hal ini
bisa ditandai dengan masih adanya Bale-bale tersebut.
Dari cerita diatas
menurut saya kiranya bisa ditarik benang merah, bahwa kata GABUS berkaitan erat
dengan Ki Bagus yang dimaksud. Dari petunjuk Kutipan Silsilah
Jatitujuh yang dikeluarkan oleh Wargi Jati Cirebon tertanggal 24 Oktober 1983
dan dikutip ulang oleh Raden Nurudin Atmadjakusuma Karangsinom salah satu
lembarnya menyebutkan silsilah ; Ki Gedeng Pasir / Paseh ---- Ki Bagus Waridah
---- Ki Bagus Rali ---- Ki Bagus Rasmini [Kedokan Gabus] ---- Ki Bagus Magrim
[Cipancuh] dan seterusnya.
Nama Ki Bagus Magrim
diabadikan menjadi sebuah nama desa yang terletak sebelum Manggungan, ada
sebuah desa terpencil bernama Magrim. Demikian juga dengan masyarakat Desa
Jatimunggul begitu mengenal sosok cerita Ki Rali dan Ki Magrim, yang berkaitan
erat dengan Situs Pohon Jati Sungsang di sana.
Sekelumit silsilah diatas
merupakan bukti penguat bahwa di Kedokan Gabus terdapat keturunan ataupun
generasi KEBAGUSAN. Para keturunan Kebagusan banyak menyebar di Indramayu terutama
Bagian Barat seperti ; Larangan, Lelea, Cikedung, Terisi, Karangsom, Tipar,
Bongas, Anjatan, Sukra, dan lain-lain.
3.
Menelusur Naskah Kuno
/ Manuskrip
Naskah kuno banyak merekam jejak peradaban masa lalu, oleh itu
keberadannya menjadi sangat penting. Naskah-naskah Kuno Nusantara sangat banyak
disimpan di negara-negara luar, Belanda, Ingris, dan lain-lain. Keberadaanya
sangat dipelihara dengan menghabiskan tidak sedikit anggaran negara. Negar
begitu sangat menghargai naskah-naskah kuno, sementara di negeri sendiri
keberadannya banyak yang sangat terlantar. Berdasarkan penelusuran Team SAJA
sejak 1995 sampai sekarang naskah-naskah Indramayu banyak mengalami kerusakan
karena memang disebabkan oleh faktor sdm itu sendiri. Masyarakat masih banyak
menganggap jimat ketimbang mempelajari isinya, ada juga sebagian masyarakat
yang ikut menguburkan naskah bersama mayit pemiliknya. Ada juga yang membuang
pada suatu tempat tertentu, membakar dan lain-lain.
Dari kejadian-kejadian inilah sehingga kita semakin kehilangan
sumber-sumber cerita peradaban masa lalu. Hal yang sepele mungkin anak cucu
kita sudah tidak mengenalinya lagi nama-nama ; panjang, gledeg, lesung, alu,
lenjing, gedhengan, wit betah, gorda putih, kampuh, lenggora, kilat thatit,
dringo benggle dan lain-lain. Kata-kata itu sering diucapkan dalam
naskah-naskah kuno yang menghubungkan dengan aktivitas kehidupan budaya
leluhur.
Sebaimana ditahun 2016 Team Kebuyutan Cirebon yang diketuai Buyut Mas
Nang telah menemukan Lontar Buyut Guesan Ulun Legok Lohbener yang terletaak di
bantaran sungai Cimanuk. Setelah dibabar ternyata menceritakan keadaan Desa /
Kuwu Suramerta Legok Kolot, yang menarik untuk dikaji adalah bahwa pada jaman
itu sudah ada penerapan syai’at islam di sana. Masyaraakat membayarkan zakat
hasil panen dengan jumlah Sangga, Gedhengan.
Sementara itu terkait dengan pernaskahan di Kecamatan Gabus, SAJA baru
menemukan petunjuk berupa 2 Naskah yang menceritakan Babad Cirebon, Wawacan
Nabi Muhamad, Brawijaya keduanya ditulis menggunakan aksara pegon [arab
berbahasa Cirebon] hal ini menunjukan bahwa sejak dahulu diwilayah Gabus
masyarakat [beberapa tokoh ulama] pandai dalam menulis membaca aksara arab yang
berhubungan langsung dengan syari’at agama.
Diwilayah Kamplong ditemukan Jubah Ki Leja, menurut penuturan pemilik Ki
Leja berasal dari Wetan dan sejaman dengan Ki Bagus Rangin [sangat dimungkinkan
Ki Bagus Leja, teman seperjuangan Ki Bagus Rangin]. Masyarakat masih banyak
yang mendudukan Jubah itu sebagai jimat, sepertinya belum ada pihak yang ingin
mengaji jubah batik itu dari jenis kain, motif dan asal batik, warna dan
lain-lain sehingga memunculkan informasi yang lebih akurat.
Dalam Babad Dermayu menyebutkan bahwa Ki Bagus Citra senang nawu iwak,
dari hasil tawu-nya itu kemudian dimasak untuk makan bersama. Demikian juga Ki
Bagus Raangin yang senang dengan berburu kidang menjangan. Nah penamaan Gabus
itu apakah terkait dengan tokoh Ki Bagus Citra yang senang nawu / menangkap
ikan di rawa-rawa [kedokan], sehingga memperoleh banyak ikan Gabus. Namun
kiranya perlu kita renungkan bahwa julukan ikan Gabus itu dikenal sejak kapan?
Sebab wong Dermayu lebih familier menyebutkan IWAK DELEG.
Sejarah Desa Kekinian
Dari penelusuran
Google didapatkan keterangan bahwa Desa Kedokangabus menjadi sebuah Desa
diperkirakan pada tahun 1882, hal ini berdasarkan sumber dari cerita para tokoh
tua yang masih mewariskan ceritanya kepada anak cucu dan tidak berdasarkan
catatan tertulis sebagai referensi.
Pada zaman penjajahan
Belanda, luas wilayah Desa Kedokangabus sangat luas yakni mencakup wilayah Desa
Sumbon Kecamatan Kroya, yang kemudian pada tahhun 1982 di mekar menjadi 2 Desa
yaitu Desa Kedokangabus dan Desa Sumbon yang masuk wilayah Kecamatan Kroya.
Adapun masyarakat yang
pernah menduduki jabatan Kuwu di Desa Kedokangabus dengan masa jabatan
rata-rata 8 (delapan) tahun adalah sebagai berikut:
No comments:
Post a Comment